Rabu, 27 Desember 2017

TANGGUNG JAWAB DUNIA TERHADAP ETNIS ROHINGYA


TANGGUNG JAWAB DUNIA TERHADAP ETNIS ROHINGYA

lambang unas.gif

Dosen :
Hendra Maujana Saragih, S.Ip,M,Si
Disusun oleh :
Maria Krista Elen Klaran Tahu
NPM: 163112350750003
Mata kuliah :
Politik Internasional



Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik
Universitas Nasional
Jakarta
2017
PENDAHULUAN

 Konflik internal yang melibatkan etnis didunia Internasional merupakan suatu hal yang selalu muncul dari dulu hingga sekarang. Konflik yang pada mulanya merupakan masalah internal suatu negara dapat sewaktu-waktu berkembang menjadi masalah internasional. Hal ini merupakan dampak dari konflik tersebut yang memaksa sebagian masyarakat keluar dari negaranya. Secara umum alasan mereka keluar dari negaranya adalah karena adanya perlakuan tidak adil, atau diskriminasi bahkan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap suatu etnis tertentu yang biasanya merupakan etnis minoritas di negara tersebut. Salah satunya adalah apa yang dialami oleh etnis rohingya yang tidak diakui kewarganegaraannya oleh pemerintahan Myanmar.[1]
Rohingya adalah salah-satu etnis muslim minoritas yang berasal dari Myanmar yang kita ketahui mendapatkan perlakuan diskriminatisi dari pemerintahan Myanmar. Etnis Rohingya mengalami intoleransi oleh karenanya mereka dianggap berbeda. Karena agama berbeda (muslim), identitas etnis berbeda, serta memiliki ciri-ciri fisik plus bahasa yang berbeda.  Akar konflik di Myanmar adalah kekerasan negara atau kekerasan yang disponsori, difasilitasi dan diamini negara. Perbedaan etnis dan agama menjadi komoditas untuk memicu dan melestarikan kekerasan Negara tersebut. Diskriminalisasi, intoleransi dan xenophobia adalah produk dari kekerasan negara yang target utamanya adalah peminggiran etnis Rohingya dari Union of Myanmar melalui serangkaian program burmanisasi atau kebijakan yang dianut oleh Burma/ Myanmar.[2]

KAJIAN LITERATUR
Azeem Ibrahim, dalam bukunya “The Rohingyas” mengatakan bahwa  Permasalahan utama dari krisis kemanusiaan ini terjadi gara-gara upaya dari Pemerintah Myanmar saat ini untuk menarik dukungan dengan menemukan atau mencari “musuh internal” - yang dijadikan tumbal bersama. Selama transisi demokratik akhir-akhir ini, Partai Politik yang diasosiasikan dengan Junta Militer dekat dengan fundamentalis Budhis, sedangkan Partai Politik Pro-Demokrasi - yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, tampak malu-malu(in) menjauh dari isu ini - sebagai “jalan tengah”.[3]
Moh. Rozaq Asyhari dalam buku “STATELESS PEOPLE AND NOWHERE TO GO mengatakan Konflik entis di Myanmar berpangkal pada persoalan sektarianisme. Banyak kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada orang Rohingya yang mayoritas beragama Islam. Selain itu didorong oleh gerakan anti Islam yang dimotori oleh kelompok tertentu. Padahal seharusnya Pemerintah Myanmar memberikan kebebasan etnis Rohingya untuk memeluk dan menjalankan agamanya. Sebagaimana diatur dalam pasal 18 Universal Declaration of Human Rights yang memberikan perlindungan bahwa setiap individu mempunyai hak kebebasan untuk beragama.[4]


POKOK MASALAH
Bagaimana tanggung jawab dunia terhadap etnis rohingya?


TUJUAN DAN URGENSI PENULISAN
Adapun beberapa tujuan penulisan makalah singkat ini yaitu :
1.       Ingin mengetahui apa peran dan tangguung jawab dunia internasional tentang masalah etnis Rohingya di Arakan, Myanmar.
2.       Ingin pula mengetahui peran serta tanggung jawab Indonesia terhadap kasus dikriminasi terhadap etnis rohingya.
PEMBAHASAN
Menurut Amnesti Internasional, orang Rohingya telah mengalami penderitaan yang cukup panjang akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan Junta Myanmar. Kebebasan orang Rohingya sangat dibatasi, mayoritas dari mereka tidak diakui kewarganegaraannya. Mereka hanya sedikit dan bahkan tidak diberikan hak kepemilikan atas tanah dan rumah serta dipekerjakan pembangunan infrastruktur di Myanmar[5]. Dunia perlu memberi hukuman kepada Myanmar yang dengan rezim-rezimnya telah melanggar Hak Asasi Manusia. Akan sangat naif apabila dunia tidak mengakui bahwa kekerasan yang dialami etnis Rohingya adalah pelanggaran HAM berat oleh Myanmar, dimana etnis itu di siksa, perkosa,dibunuh secara keji. PBB sebagai pusatnya kegiatan HAM global dan menjadi dasar keprihatinan adalah piagam PBB ( Eide:1998,  korey:1998) dan lebih spesifiknya lagi Deklarasi Universal tentang HAM, yang diadopsi oleh majelis umum PBB pada tahun 1948 dengan 48 suara negara pendukung. [6]oleh sebab itu PBB bersamaan anggota-anggotanya bersatu dan memperjuangkan HAM  etnis rohingya  serta  memberi sanksi terhadap Myanmar. 
            Kondisi seperti ini sudah seharusnya ada pihak yang bertanggung jawab, yaitu: Tanggungjawab pertama, jelas terletak pada negara Myanmar yang sejak awal berdirinya telah menegasikan eksistensi bangsa Rohingya. Termasuk yang wajib memperjuangkan warga Rohingya adalah pemimpin perjuangan demokrasi Myanmar, anak kandung Myanmar Bogyoke Aung San, yaitu Daw Aung San Suu Kyi. Karena memperjuangkan Myanmar yang bebas berkeadilan tidak akan sempurna tanpa mengakui eksistensi warga Rohingya dan warga minoritas lainnya yang hidup di Myanmar jauh sebelum negara tersebut merdeka dari jajahan Inggris[7].
Tanggung jawab kedua adalah pada ASEAN Karena ASEAN sebagai sebuah organisasi regional yang mencakup Myanmar mengedepankan prinsip non-interference. Prinsip ini merupakan fondasi inti dari terbentuknya kerjasama antara negara-negara anggota ASEAN. Dengan adanya prinsip ini maka negara-negara anggota ASEAN yang ingin membantu menyelesaikan krisis etnis Rohingya secara langsung ditahan, dan situasi ini diperparah dengan pemerintahan Myanmar yang tidak menunjukkan adanya keinginan untuk mengakhiri kekerasan yang terus terjadi.[8]
Tanggung jawab ketiga adalah badan internasional seperti PBB. Sebenarnya PBB dalam hal ini telah mengutus UNHCR untuk datang ke Myanmar dalam mengatasi etnis Rohingya yang masih berada di kawasan Myanmar sebagai bentuk perhatian masyarakat internasional atas kasus Rohingya. Banyak sekali bantuan yang dilakukan oleh UNHCR pada etnis ini seperti mengadakan pendidikan informal, membangun camp pengungsian kesehatan dan masih banyak lainnya. Tetapi, peran UNHCR di sini hanyalah sebagai pembantu saja dan bersifat sementara, mereka tidak dapat menebus kebijakan yang diambil pemerintah Myanmar. Hal ini dibuktikan dengan permasalahan Rohingya sampai saat ini masih tetap ada sejalan dengan masih eksisnya bantuan dari UNHCR di Myanmar.[9]
Tanggung jawab keempat adalah OKI. OKI berada pada posisi terbaik untuk melakukan perjuangan komunitas Rohingya. Dalam satu pertemuan luar biasa yang berlangsung di Kuala Lumpur pada 19 Januari 2017,OKI mengkritik Myanmar dalam menangani masalah Rohingya. OKI mendesak pemerintah Myanmar untuk mengizinkannya dan delegasi internasional lainnya mengunjungi wilayah yang dilanda kekerasan tersebut. Sayangnya setiap kali ini terjadi, pihak berwenang Myanmar telah menyiapkan lebih banyak kekuatan dan penganiayaan yang lebih brutal. Upaya OKI untuk menciptakan tekanan melalui badan-badan PBB lainnya seperti Komisi Hak Asasi Manusia juga telah gagal dan situasi di lapangan terus memburuk. Dalam konteks ini, organisasi internasional seperti OKI memiliki mekanisme yang lemah untuk mengimplementasikan resolusi mereka.[10]
Indonesia ikut berperan dalam meredakan konflik yang terjadi di Myanmar dengan mengutus menteri luar negeri menemui Aung Sang Suu Kyi. Indonesia akhirnya berhasil membuka akses bantuan bagi warga Rohingya. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno LP Marsudi melakukan perundingan dengan pemimpin de facto Myanmar, Daw Aung San Suu Kyi, di ibu kota Myanmar, Naypyidaw untuk membicarakan peran Indonesia dalam meredam kekerasaan di Myanmar. Lawatan Menteri Luar Negeri Indonesia ini memang menjadi sorotan dunia, sebab menjadi bentuk respons pertama dimana wakil pemimpin negara turun langsung membahas isu kemanusiaan yang terjadi di negara bagian Rakhine tersebut.
Presiden Joko Widodo, menyebutkan Indonesia perlu melakukan upaya nyata untuk membantu mengatasi krisis kemanusian di Myanmar. Selain memberikan bantuan obat-obatan dan makanan, Indonesia juga turut membantu membangun sebuah rumah sakit di Myauk U, Rakhine yang akan rampung dibangun Oktober 2017.[11]

Terkait hal ini, Muhammad Jusrianto, Pengamat Hubungan Internasional (Republika, 29/2) memandang Indonesia perlu mengambil peran lebih besar. Pemerintah sepatutnya bisa turut membantu menyelesaikan permasalahan yang menimpa etnis Rohingya. Indonesia dalam melibatkan diri, bagaimanapun harus tetap menghormati dan mematuhi hasil konsensus negara-negara ASEAN, yaitu nonintervention prinsiple. Artinya, ASEAN termasuk anggota-anggotanya tidak boleh melakukan intervensi terhadap masalah internal yang dihadapi oleh salah satu negara anggota.

Pertama, multitrack diplomacy. Dalam konteks ini, yaitu relasi antara Pemerintah Indonesia dan nongoverment organization (NGO) atau LSM. Indonesia melakukan kerja sama dengan NGO untuk menyuarakan nasib masyarakat Rohingya di Myanmar ataupun terlibat membantu etnis Rohingya yang berada di negara-negara lain.
Kedua, billateral diplomacy. Dalam hal ini, Indonesia melakukan diplomasi politik dalam bingkai nilai-nilai kemanusian. Dalam artian, etnis Rohingya butuh diperlakukan sebagai manusia, seperti halnya masyarakat Myammar lainnya.
Ketiga, ASEAN Institution Instrument. Di sini, Indonesia menjadikan institusi ASEAN sebagai instrumen untuk melakukan konsolidasi dengan negara-negara ASEAN. Konsolidasi ditujukan untuk mendorong pemerintahan Myanmar secepatnya menyelesaikan permasalahan Rohingya secara utuh.

Apabila upaya-upaya di atas sudah dilalui Pemerintah Indonesia dan kemudian tidak mencapai target dan tujuan, tentunya harus ada rencana tindak lanjut lainnya. Negara-negara ASEAN harus menggunakan pressure approach kepada Pemerintah Myanmar sebagai wujud dari manifestasi kesepakatan Piagam ASEAN. Jika perlu pemutusan hubungan ekonomi dan hubungan diplomatik dilakukan, yang diawali Indonesia dan mengajak negara-negara lain juga melakukannya.

Desakan itu dilakukan supaya Myanmar dapat menyelesaikan masalah Rohingya mulai dari akar-akarnya, seperti mencabut isi dari Burma Citizenship Law yang terbit pada 1982 yang berbunyi, ''Warga etnis Rohingya dinyatakan sebagai non-national atau bukan warga negara.[12]

Apa yang dilakukan Indonesia untuk melindungi dan menampung  etnis Rohingya adalah berdasarkan asas non-refoulement dimana suatu negara tidak boleh mengusir pencari suaka yang datang kenegaranya. Asas ini diatur dalam Convention Relating to the Status of Refugees tahun 1951. Walaupun sebenarnya kasus Rohingya ini lebih berkaitan dengan Covention Relating to the status of stateless persons tahun 1954, haruslah kita perhatikan bahwa dalam preambule konvensi 1954 ini dijelaskan bahwa adanya konvensi 1954 ini adalah untuk melindungi pengungsi yang disisi lain tidak memliki kewarganegaraan.


PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan makalah singkat diatas jelas terlihat bahwa kekerasan yang dilakukan myanmar beserta rezim militernya terhadap etnis Rohingya yang menyebabkan penderitaan yang luar biasa,padahal jika dilihat lebih  dalam lagi, etnis rohingya ini hanya ingin diakui sebagai warga negara  dan ingin hidup bebas jauh dari rasa takut, dan hidup seperti layaknya bangsa-bangsa lain. Tindakan diskriminatif  dari myanmar terhadap etnis rohingya telah mendapat begitu banyak kecaman dari dunia. Berbagai bantuan dari PBB, ASEAN ,OKI maupun negara-negara lainnya telah dikerahkan, namun belum ada titik penyelesaian terhadap kasus ini. Indonesia dengan berbagai macam cara melalui jalur diplomasi pun tetap belum bisa mencapai titik penyelesaian.
Referensi :
1.        http://scholar.unand.ac.id/16591/2/BAB%201%20Watermark.pdf diakses 25 Desember 2017 jam 2:10
3.        Azeem Ibrahim, ” sinopsis buku The Rohingyas” Juni 2016 diakses 25 Desember 2017, Hal 22-24 ,jam 3:34
4.       www.iswandibanna.com/2016/11/buku-terbaru-rohingyas-yang-membedah.html, diakses 25 Desember 2017 , jam 3:34
5.       Moh. Rozaq Asyhari, “buku :ROHINGYA: STATELESS PEOPLE AND NOWHERE TO GO” Mei 2016 diakses 25 Desember 2017, Hal. 36-40,jam 4:22
6.        https://indonesia4rohingyadotnet.files.wordpress.com/2016/11/buku-rohingya-piara-2016.pdf diakses 25 Desember 2017, jam 4:22                                                                                                                       
7.        Hendra Maujana Saragih, Indonesia dan Responsibility to protect etnis muslim rohingya myanmar, FOKUS : Jurnal Kajian  Keislaman dan Kemasyarakatan Vol.2 ,no.2, 2017 P3M Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri(STAIN) curup-Bengkulu Available online : http://journal.staincurup.ac.id/index.php/JF, hal.109, diakses 26 desember 2017,jam 2:56
8.       Rourke,Boyer , international politics on the world stage : The international response to individual and group human right issues, diakses 26 Desember 2017,  jam 1:58, hal 380-381.
12.     http://aceh.tribunnews.com/2017/09/05/peran-oki-terhadap-rohingya diakses 26 Desember 2017,jam 3:08
13.    www.dw.com/id/indonesia-turun-tangan-bantu-rohingya/a-4035149, diakses pada 26Desember ,jam3:33


[3] Azeem Ibrahim, ” sinopsis buku The Rohingyas” online : www.iswandibanna.com/2016/11/buku-terbaru-rohingyas-yang-membedah.html,  Juni 2016 diakses 25 Desember 2017, Hal 22-24 ,jam 3:34
[4] Moh. Rozaq Asyhari, “buku :ROHINGYA: STATELESS PEOPLE AND NOWHERE TO GO”  online: https://indonesia4rohingyadotnet.files.wordpress.com/2016/11/buku-rohingya-piara-2016.pdf  Mei 2016 diakses 25 Desember 2017, Hal. 36-40,jam 4:22


[5] Hendra Maujana Saragih, Indonesia dan Responsibility to protect etnis muslim rohingya myanmar, FOKUS : Jurnal Kajian  Keislaman dan Kemasyarakatan Vol.2 ,no.2, 2017 P3M Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri(STAIN) curup-Bengkulu Available online : http://journal.staincurup.ac.id/index.php/JF, hal.109, diakses 26 desember 2017,jam 2:56
[6] Rourke,Boyer , international politics on the world stage : The international response to individual and group human right issues, diakses 26 Desember 2017,  jam 1:58, hal 380-381.