TANGGUNG
JAWAB DUNIA TERHADAP ETNIS ROHINGYA
Dosen
:
Hendra
Maujana Saragih, S.Ip,M,Si
Disusun
oleh :
Maria
Krista Elen Klaran Tahu
NPM:
163112350750003
Mata
kuliah :
Politik
Internasional
Program
Studi Hubungan Internasional
Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu politik
Universitas
Nasional
Jakarta
2017
PENDAHULUAN
Konflik
internal yang melibatkan etnis didunia Internasional merupakan suatu hal yang
selalu muncul dari dulu hingga sekarang. Konflik yang pada mulanya merupakan
masalah internal suatu negara dapat sewaktu-waktu berkembang menjadi masalah
internasional. Hal ini merupakan dampak dari konflik tersebut yang memaksa
sebagian masyarakat keluar dari negaranya. Secara umum alasan mereka keluar
dari negaranya adalah karena adanya perlakuan tidak adil, atau diskriminasi
bahkan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap suatu etnis tertentu yang
biasanya merupakan etnis minoritas di negara tersebut. Salah satunya adalah apa
yang dialami oleh etnis rohingya yang tidak diakui kewarganegaraannya oleh
pemerintahan Myanmar.[1]
Rohingya
adalah salah-satu etnis muslim minoritas yang berasal dari Myanmar yang kita
ketahui mendapatkan perlakuan diskriminatisi dari pemerintahan
Myanmar. Etnis
Rohingya mengalami intoleransi oleh karenanya mereka dianggap berbeda. Karena
agama berbeda (muslim), identitas etnis berbeda, serta memiliki ciri-ciri fisik
plus bahasa yang berbeda.
Akar konflik di Myanmar adalah kekerasan negara atau kekerasan
yang disponsori, difasilitasi dan diamini negara. Perbedaan etnis dan agama
menjadi komoditas untuk memicu dan melestarikan kekerasan Negara tersebut.
Diskriminalisasi, intoleransi dan
xenophobia adalah produk dari kekerasan negara yang target utamanya adalah
peminggiran etnis Rohingya dari Union of
Myanmar melalui serangkaian program burmanisasi atau kebijakan yang dianut
oleh Burma/ Myanmar.[2]
KAJIAN
LITERATUR
Azeem
Ibrahim, dalam bukunya “The Rohingyas”
mengatakan bahwa Permasalahan
utama dari krisis kemanusiaan ini terjadi gara-gara upaya dari Pemerintah
Myanmar saat ini untuk menarik dukungan dengan menemukan atau mencari “musuh
internal” - yang dijadikan tumbal bersama. Selama transisi demokratik
akhir-akhir ini, Partai Politik yang diasosiasikan dengan Junta Militer dekat
dengan fundamentalis Budhis, sedangkan Partai Politik Pro-Demokrasi - yang
dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, tampak malu-malu(in) menjauh dari isu ini -
sebagai “jalan tengah”.[3]
Moh. Rozaq Asyhari
dalam buku “STATELESS PEOPLE
AND NOWHERE TO GO” mengatakan Konflik
entis di Myanmar berpangkal pada persoalan sektarianisme. Banyak kebijakan yang
dinilai tidak berpihak pada orang Rohingya yang mayoritas beragama Islam.
Selain itu didorong oleh gerakan anti Islam yang dimotori oleh kelompok
tertentu. Padahal seharusnya Pemerintah Myanmar memberikan kebebasan etnis
Rohingya untuk memeluk dan menjalankan agamanya. Sebagaimana diatur dalam pasal
18 Universal Declaration of Human Rights yang memberikan perlindungan bahwa
setiap individu mempunyai hak kebebasan untuk beragama.[4]
POKOK MASALAH
Bagaimana tanggung
jawab dunia terhadap etnis rohingya?
TUJUAN DAN URGENSI PENULISAN
Adapun beberapa tujuan
penulisan makalah singkat ini yaitu :
1.
Ingin mengetahui apa peran dan tangguung
jawab dunia internasional tentang masalah etnis Rohingya di Arakan, Myanmar.
2.
Ingin pula mengetahui peran serta
tanggung jawab Indonesia terhadap kasus dikriminasi terhadap etnis rohingya.
PEMBAHASAN
Menurut Amnesti
Internasional, orang Rohingya telah mengalami penderitaan yang cukup panjang
akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan Junta Myanmar.
Kebebasan orang Rohingya sangat dibatasi, mayoritas dari mereka tidak diakui
kewarganegaraannya. Mereka hanya sedikit dan bahkan tidak diberikan hak
kepemilikan atas tanah dan rumah serta dipekerjakan pembangunan infrastruktur
di Myanmar[5]. Dunia
perlu memberi hukuman kepada Myanmar yang dengan rezim-rezimnya telah melanggar
Hak Asasi Manusia. Akan sangat naif apabila dunia tidak mengakui bahwa
kekerasan yang dialami etnis Rohingya adalah pelanggaran HAM berat oleh
Myanmar, dimana etnis itu di siksa, perkosa,dibunuh secara keji. PBB sebagai
pusatnya kegiatan HAM global dan menjadi dasar keprihatinan adalah piagam PBB (
Eide:1998, korey:1998) dan lebih
spesifiknya lagi Deklarasi Universal tentang HAM, yang diadopsi oleh majelis
umum PBB pada tahun 1948 dengan 48 suara negara pendukung. [6]oleh sebab itu PBB bersamaan anggota-anggotanya bersatu dan
memperjuangkan HAM etnis rohingya serta
memberi sanksi terhadap Myanmar.
Kondisi
seperti ini sudah seharusnya ada pihak yang bertanggung jawab, yaitu: Tanggungjawab pertama, jelas
terletak pada negara Myanmar yang sejak awal berdirinya telah menegasikan
eksistensi bangsa Rohingya. Termasuk yang wajib
memperjuangkan warga Rohingya adalah pemimpin perjuangan demokrasi Myanmar, anak
kandung Myanmar Bogyoke Aung San, yaitu Daw Aung San Suu Kyi. Karena
memperjuangkan Myanmar yang bebas berkeadilan tidak akan sempurna tanpa
mengakui eksistensi warga Rohingya dan warga minoritas lainnya yang hidup di
Myanmar jauh sebelum negara tersebut merdeka dari jajahan Inggris[7].
Tanggung jawab kedua adalah pada ASEAN Karena ASEAN sebagai sebuah organisasi regional yang mencakup Myanmar
mengedepankan prinsip non-interference. Prinsip ini merupakan fondasi inti dari terbentuknya kerjasama
antara negara-negara anggota ASEAN. Dengan adanya prinsip ini maka
negara-negara anggota ASEAN yang ingin membantu menyelesaikan krisis etnis
Rohingya secara langsung ditahan, dan situasi ini diperparah dengan
pemerintahan Myanmar yang tidak menunjukkan adanya keinginan untuk mengakhiri
kekerasan yang terus terjadi.[8]
Tanggung jawab ketiga adalah badan internasional seperti PBB. Sebenarnya PBB dalam hal ini telah mengutus UNHCR
untuk datang ke Myanmar dalam mengatasi etnis Rohingya yang masih berada di
kawasan Myanmar sebagai bentuk perhatian masyarakat internasional atas kasus
Rohingya. Banyak sekali bantuan yang dilakukan oleh UNHCR pada etnis ini
seperti mengadakan pendidikan informal, membangun camp pengungsian
kesehatan dan masih banyak lainnya. Tetapi, peran UNHCR di sini hanyalah
sebagai pembantu saja dan bersifat sementara, mereka tidak dapat menebus
kebijakan yang diambil pemerintah
Myanmar. Hal
ini dibuktikan dengan permasalahan Rohingya sampai saat ini masih tetap ada
sejalan dengan masih eksisnya bantuan dari UNHCR di Myanmar.[9]
Tanggung jawab keempat adalah OKI. OKI
berada pada posisi terbaik untuk melakukan perjuangan komunitas Rohingya.
Dalam satu pertemuan luar biasa yang berlangsung di Kuala Lumpur pada 19
Januari 2017,OKI mengkritik Myanmar dalam
menangani masalah Rohingya.
OKI mendesak pemerintah Myanmar untuk
mengizinkannya dan delegasi internasional lainnya mengunjungi wilayah yang
dilanda kekerasan tersebut. Sayangnya setiap kali ini terjadi, pihak berwenang Myanmar telah
menyiapkan lebih banyak kekuatan dan penganiayaan yang lebih brutal. Upaya OKI untuk menciptakan tekanan melalui badan-badan
PBB lainnya seperti Komisi Hak Asasi Manusia juga telah gagal dan situasi di
lapangan terus memburuk. Dalam konteks ini, organisasi internasional seperti
OKI memiliki mekanisme yang lemah untuk mengimplementasikan resolusi mereka.[10]
Indonesia ikut berperan
dalam meredakan konflik yang terjadi di Myanmar dengan mengutus menteri luar
negeri menemui Aung Sang Suu Kyi. Indonesia akhirnya berhasil membuka akses
bantuan bagi warga Rohingya. Menteri
Luar Negeri Indonesia, Retno LP Marsudi melakukan perundingan dengan pemimpin
de facto Myanmar, Daw Aung San Suu Kyi, di ibu kota Myanmar, Naypyidaw untuk
membicarakan peran Indonesia dalam meredam kekerasaan di Myanmar.
Lawatan Menteri Luar Negeri Indonesia ini memang menjadi sorotan dunia,
sebab menjadi bentuk respons pertama dimana wakil pemimpin negara turun
langsung membahas isu kemanusiaan yang terjadi di negara bagian Rakhine
tersebut.
Presiden Joko Widodo,
menyebutkan Indonesia perlu melakukan upaya nyata untuk membantu mengatasi
krisis kemanusian di Myanmar. Selain memberikan bantuan obat-obatan dan
makanan, Indonesia juga turut membantu membangun sebuah rumah sakit di
Myauk U, Rakhine yang akan rampung dibangun Oktober 2017.[11]
Terkait hal ini, Muhammad Jusrianto, Pengamat
Hubungan Internasional (Republika, 29/2) memandang Indonesia perlu mengambil
peran lebih besar. Pemerintah sepatutnya bisa turut membantu menyelesaikan
permasalahan yang menimpa etnis Rohingya. Indonesia
dalam melibatkan diri, bagaimanapun harus tetap menghormati dan mematuhi hasil
konsensus negara-negara ASEAN, yaitu nonintervention prinsiple. Artinya, ASEAN
termasuk anggota-anggotanya tidak boleh melakukan intervensi terhadap masalah
internal yang dihadapi oleh salah satu negara anggota.
Pertama, multitrack diplomacy. Dalam
konteks ini, yaitu relasi antara Pemerintah Indonesia dan nongoverment
organization (NGO) atau LSM. Indonesia melakukan kerja sama dengan NGO untuk
menyuarakan nasib masyarakat Rohingya di Myanmar ataupun terlibat membantu etnis
Rohingya yang berada di negara-negara lain.
Kedua, billateral diplomacy. Dalam hal
ini, Indonesia melakukan diplomasi politik dalam bingkai nilai-nilai
kemanusian. Dalam artian, etnis Rohingya butuh diperlakukan sebagai manusia,
seperti halnya masyarakat Myammar lainnya.
Ketiga, ASEAN Institution Instrument. Di
sini, Indonesia menjadikan institusi ASEAN sebagai instrumen untuk melakukan
konsolidasi dengan negara-negara ASEAN. Konsolidasi ditujukan untuk mendorong
pemerintahan Myanmar secepatnya menyelesaikan permasalahan Rohingya secara
utuh.
Apabila upaya-upaya di atas sudah dilalui
Pemerintah Indonesia dan kemudian tidak mencapai target dan tujuan, tentunya
harus ada rencana tindak lanjut lainnya. Negara-negara ASEAN harus menggunakan
pressure approach kepada Pemerintah Myanmar sebagai wujud dari manifestasi
kesepakatan Piagam ASEAN. Jika perlu pemutusan hubungan ekonomi dan hubungan
diplomatik dilakukan, yang diawali Indonesia dan mengajak negara-negara lain
juga melakukannya.
Desakan itu dilakukan supaya Myanmar dapat
menyelesaikan masalah Rohingya mulai dari akar-akarnya, seperti mencabut isi
dari Burma Citizenship Law yang terbit pada 1982 yang berbunyi, ''Warga etnis
Rohingya dinyatakan sebagai non-national atau bukan warga negara.[12]
Apa yang dilakukan
Indonesia untuk melindungi dan menampung etnis Rohingya adalah berdasarkan asas non-refoulement dimana
suatu negara tidak boleh mengusir pencari suaka yang datang kenegaranya. Asas
ini diatur dalam Convention Relating to
the Status of Refugees tahun 1951. Walaupun sebenarnya kasus Rohingya ini
lebih berkaitan dengan Covention Relating
to the status of stateless persons tahun 1954, haruslah kita perhatikan
bahwa dalam preambule konvensi 1954 ini
dijelaskan bahwa adanya konvensi 1954 ini adalah untuk
melindungi pengungsi yang disisi lain tidak memliki kewarganegaraan.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
pemaparan makalah singkat diatas jelas terlihat bahwa kekerasan yang dilakukan
myanmar beserta rezim militernya terhadap etnis Rohingya yang menyebabkan
penderitaan yang luar biasa,padahal jika dilihat lebih dalam lagi, etnis rohingya ini hanya ingin
diakui sebagai warga negara dan ingin
hidup bebas jauh dari rasa takut, dan hidup seperti layaknya bangsa-bangsa
lain. Tindakan diskriminatif dari
myanmar terhadap etnis rohingya telah mendapat begitu banyak kecaman dari
dunia. Berbagai bantuan dari PBB, ASEAN ,OKI maupun negara-negara lainnya telah
dikerahkan, namun belum ada titik penyelesaian terhadap kasus ini. Indonesia
dengan berbagai macam cara melalui jalur diplomasi pun tetap belum bisa
mencapai titik penyelesaian.
Referensi
:
2.
http://mutiarabidadarisurga.blogspot.co.id/2014/05/analisa-terhadap-kasus-rohingya.html
diakses 25 Desember 2017,jam 3:22
3.
Azeem Ibrahim, ”
sinopsis buku The Rohingyas” Juni 2016 diakses 25 Desember 2017, Hal 22-24 ,jam 3:34
4.
www.iswandibanna.com/2016/11/buku-terbaru-rohingyas-yang-membedah.html,
diakses 25 Desember 2017 , jam 3:34
5.
Moh. Rozaq Asyhari, “buku :ROHINGYA: STATELESS PEOPLE AND
NOWHERE TO GO” Mei 2016 diakses 25 Desember 2017, Hal. 36-40,jam 4:22
6.
https://indonesia4rohingyadotnet.files.wordpress.com/2016/11/buku-rohingya-piara-2016.pdf
diakses 25 Desember 2017, jam 4:22
7.
Hendra Maujana Saragih, Indonesia dan Responsibility to protect etnis muslim rohingya
myanmar, FOKUS : Jurnal Kajian
Keislaman dan Kemasyarakatan Vol.2 ,no.2, 2017 P3M Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri(STAIN) curup-Bengkulu Available online : http://journal.staincurup.ac.id/index.php/JF,
hal.109, diakses 26 desember 2017,jam 2:56
8.
Rourke,Boyer
, international politics on the world stage : The international response to
individual and group human right issues, diakses 26 Desember 2017, jam 1:58, hal 380-381.
9.
https://peradabandansejarah.blogspot.co.id/2015/08/rohingya.htm.
diakses 26 Desember 2017, jam 2:21
10.
http://pssat.ugm.ac.id/id/2016/12/21/muslim-rohingya-dan-krisis-yang-tak-berujung/ diakses 26 desember 2017, jam
2:35
11.
https://tirto.id/tragedi-rohingya-dan-mengapa-pbb-gagal-hentikan-genosida-cvTH
diakses 26 Desember 2017,
jam 2:41
12.
http://aceh.tribunnews.com/2017/09/05/peran-oki-terhadap-rohingya
diakses 26 Desember 2017,jam 3:08
14.
http://indonesian.irib.ir/editorial/cakrawala/item/108012-peran-indonesia-dan-nasib-rohingya
diakses 26 Desem mber 2017,
jam 3:40
[2]
http://mutiarabidadarisurga.blogspot.co.id/2014/05/analisa-terhadap-kasus-rohingya.html
diakses 25 Desember 2017,jam 3:22
[3] Azeem
Ibrahim, ” sinopsis buku The Rohingyas”
online : www.iswandibanna.com/2016/11/buku-terbaru-rohingyas-yang-membedah.html, Juni 2016 diakses
25 Desember 2017, Hal 22-24 ,jam 3:34
[4] Moh. Rozaq Asyhari, “buku :ROHINGYA: STATELESS PEOPLE AND NOWHERE
TO GO” online:
https://indonesia4rohingyadotnet.files.wordpress.com/2016/11/buku-rohingya-piara-2016.pdf Mei 2016 diakses 25 Desember 2017, Hal. 36-40,jam
4:22
[5] Hendra Maujana Saragih, Indonesia dan Responsibility to protect
etnis muslim rohingya myanmar, FOKUS : Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan Vol.2 ,no.2,
2017 P3M Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri(STAIN) curup-Bengkulu Available
online : http://journal.staincurup.ac.id/index.php/JF, hal.109, diakses 26 desember
2017,jam 2:56
[6] Rourke,Boyer , international
politics on the world stage : The international response to individual and
group human right issues, diakses 26 Desember 2017, jam 1:58, hal 380-381.
[8] http://pssat.ugm.ac.id/id/2016/12/21/muslim-rohingya-dan-krisis-yang-tak-berujung/ diakses 26 desember 2017, jam
2:35
[10] http://aceh.tribunnews.com/2017/09/05/peran-oki-terhadap-rohingya diakses 26 Desember 2017,jam
3:08
[11] www.dw.com/id/indonesia-turun-tangan-bantu-rohingya/a-4035149,
diakses pada 26Desember ,jam3:33