Rabu, 10 Januari 2018

Trump Gagal Dalam penyelesaian konflik israel-palestina


KEGAGALAN DONALD TRUMP DALAM ME-MAINTANCE KONFLIK
 ISRAEL DAN PALESTINA
lambang unas.gif

Dosen :
Hendra Maujana Saragih, S.Ip,M,Si
Disusun oleh :
Maria Krista Elen Klaran Tahu
NPM: 163112350750003
Mata kuliah :
Politik Internasional



Program Studi Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik
Universitas Nasional
Jakarta
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Konflik Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu panjang setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat disekitar abad keduabelas. Konflik yang telah berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi konflik cukup akut yang menyita perhatian masyarakat dunia. Apa yang pernah diprediksi Amerika melalui Menteri Luar Negerinya, Condoleezza Rice, pada Konfrensi Perdamaian Timur Tengah November 2008 lalu, sebagai "pekerjaan sulit namun bukan berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan pengorbanan" bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina, semakin menunjukkan bahwa perdamaian Israel-Palestina memang sulit diwujudkan. Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini Amerika) sebagai puncak penyelesaian konfik Israel-Palestina justru menampakkan kondisi sebaliknya. Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza yang dilancarkan sebulan terakhir ini semakin memperkuat keraguan banyak pihak atas keberhasilan konfrensi tersebut.[1]
Tercatat tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina mengalami korban jiwa dan lebih dari dua ribu korban luka lainnya dalam waktu sepekan serangan udara yang dilancarkan pasukan Israel ke Jalur Gaza. Tidak hanya sampai di situ, Israel bahkan mulai melakukan serangan darat dengan dalih ingin melucuti sisa-sisa roket yang dimiliki pejuang Hamas, sebuah gerakan perlawanan Islam di Palestina yang menjadi alasan penyerangan Israel ke wilayah tersebut. Sulit dibayangkan, jika serangan udara Israel dalam waktu satu minggu telah menelan demikian banyak korban, keadaannya tentu akan semakin parah setelah Israel melancarkan serangan daratnya, dan kondisi ini terbukti dengan jatuhnya korban jiwa melibihi angka seribu dan ribuan korban luka lainnya.

Fakta yang cukup sulit untuk dibantah, bahwa konflik Israel-Palestina berhasil membangun stigma di tengah masyarakat Islam sebagai konflik bernuansa agama. Pandangan ini setidaknya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini sebagai salah satu simbol spiritualitas Islam, dan korban yang berjatuhan di tanah Palestina secara umum adalah masyarakat Islam. Istilah "jihad" sendiri merupakan terminologi dalam ajaran Islam yang mengandung pengertian perang yang dilakukan di jalan Allah, sehingga jika jihad dapat ditolerir dalam kasus ini, maka semakin sulit membangun fondasi keyakinan di tengah masyarakat Islam tentang adanya "fakta lain" di balik situasi konflik yang sejak lama terjadi antara Israel dan Palestina. Fakta lain yang penulis maksud adalah dimensi politik yang juga demikian kental dalam konflik Israel-Palestina. Fakta ini setidaknya ditunjukkan dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai negara adidaya pada Israel.3 Keberpihakan tersebut semakin terlihat jelas ketika tidak kurang dari puluhan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk konflik Israel-Palestina kerap "dimentahkan" Amerika dengan vetonya. Ada hal lain yang lebih menarik, sunyinya sauara negara-negara Arab (khususnya Saudi Arabia yang dalam banyak hal dianggap sebagai "kampung halaman Islam", dan berteman dekat dengan Amerika) semakin memperlihatkan nuansa politik yang cukup kontras dalam kasus ini.
Konflik Israel-Palestina dengan sendirinya dapat diposisikan sebagai konfliksosial mengingat kasus ini dapat disoroti dari beberapa aspek: politik dan teologi. Konflik sosial sendiri – sebagaimana dikatakan Oberschall mengutip Coser– diartikan sebagai "...a strugle over values or claims to status, power, and scare resource, in wich the aims of the conflict groups are not only to gain the desired values, but also to neutralise injure or eliminate rivals. Pengertian ini menunjukkan bahwa konflik sosial meliputi spektrum yang lebar dengan melibatkan berbagi konflik yang membingkainya, seperti: konflik antar kelas (social class conflict), konflik ras (ethnics and racial conflicts), konflik antar pemeluk agama (religions conflict), konflik antar komunitas (communal conflict), dan lain sebagainya.[2]

Dalam kasus Israel-Palsestina, aspek politik bukanlah satu-satunya dimensi yang dapat digunakan untuk menyoroti konflik kedua negara tersebut, demikian halnya dengan dimensi teologis yang oleh banyak pihak dianggap tidak ada hubungannya dengan konflik ini. Sebagian pihak memandang konflik Israel-Palsetina murni sebagai konflik politik, sementara sebagian yang lain memandang konflik ini sarat dengan nuansa teologis. Nuansa teologis dalam konflik Israel-Palestina bukan saja ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam, akan tetapi kekayikan terhadap "tanah yang dijanjikan" sebagai tradisi teologis Yahudi juga tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini. Oleh karenanya, tidak ada dari kedua aspek di atas (politik dan teologi) yang dapat dianggap lebih tepat sebagai pemicu konflik Israel-Palestina, karena sepanjang sejarahnya kedua aspek tersebut turut mewarnai konflik. Membentangkan sejarah kelam hubungan Israel-Palestina yang kerap dikerumuni konflik berkepanjangan sama rumitnya dengan melacak sejarah Yahudi itu sendiri, namun upaya ini penting dilakukan untuk melihat sejauh mana konflik tersebut diwarnai oleh nuansa politik maupun teologis. Bahkan, seperti yang dituliskan Ralph Schoenman ( Ralph Scoenman adalah satu dari sekian orang yang mengalami langsung situasi konflik Israel-Palestina. Ia mengalami pengepungan dan pengeboman di Beirut Barat (1982), hidup bersama orang-orang Palestina dalam reruntuhan Ain el Helwh selama pendudukan Israel, serta menyaksikan pembinasaan di kamp-kamp Palestina). [3]

Apa yang ditegaskan Schoenman tentang sulitnya mendapatkan informasi tentang Yahudi, agaknya benar-benar di alami oleh seorang wartawan Kompas, Trias Kuncahyono, dalam perjalanan jurnalistiknya ke Jerusalem. Dalam bukunya berjudul: Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, Trias bahkan menunjukkan kesulitan yang ditemukannya di berbagai tempat yang menggambarkan kecurigaan, kewaspadaan, dan bahkan menjurus pada kegamangan, dan fobia yang begitu tinggi dari orang-orang Israel. Kondisi semacam ini bukan kejadian langka yang dapat ditemukan ketika setiap orang ingin mengunjungi tanah Palestina sebagai wilayah yang dihuni dua bangsa keturunan Ibrahim yang tak pernah akur. [4]

1.2  Pokok Masalah penulisan

Apa penyebab kegagalan presiden Amerika Serikat Donal Trump dalam me-maintain konflik Israel-Palestina?

1.3  Tujuan dan Urugensi penulisan

Adapun beberapa tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1.      Ingin mengetahui apa yang menyebabkan presiden Donal Trump gagal dalam mempertahankan konflik Israel
2.      Ingin mengetahui akibat dari keputusan Donald Trump yang secara sepihak mengakui yerusalem sebagai ibu kota Israel.
































BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  KERANGKA TEORI

Pada kesempatan ini, penulis menggunakan teori yang dimana adanya kesenambungan dengan judul  makalah diatas yaitu kegagalan Donald trump dalam memaintance  konflik israel dan palestina , penulis memilih  untuk menggunakan teori  Realisme, karena menurut penulis teori ini sesuai dengan kebijakan trump yang sangat kontraversial dan juga penulis menggunakan THREE MODELS DECISION MAKING OF GRAHAM T . ALLISON. Namun disini penulis hanya mengambil salah satu model pembuatan keputusan dari Allison yang dianggap sesuai dengan kebijakan yang dibuat oleh Donal Trump.

2.1.1        Teori Realisme

Realisme pada dasarnya merupakan bentuk kritik terhadap perspektif idealisme, yang mereka anggap terlalu menyepelekan konsep power dalam hubungan internasional. Teori Realisme berkembang dan mendasar pada pemikiran bahwa man is evil. Aktor dalam perspektif realisme adalah negara, sebagai satu individual yang tidak akan bekerjasama dengan aktor lain tanpa ada maksud tertentu (self-interests) dan akan selalu berusaha untuk memperkuat dirinya sendiri. Berawal dari sejarah studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, realisme hadir sebagai arus utama pendekatan hubungan internasional akibat ketidaksempurnaan pendekatan idealis dalam menjelaskan keadaan dan fenomena yang sedang terjadi kala itu.[5]
Realisme sebagai spektrum ide juga melingkupi 4 dalil inti antara lain Political Groupism,Egoism, International Anarchy, dan juga Power Politics. kaum realis menganggap bahwa umat manusia pada dasarnya tidak murah hati melainkan bersifat egois dan kompetitif. Thomas Hobbes, salah satu ahli teori realisme, memandang manusia pada dasarnya bersifat egosentrik dan konfliktual kecuali bila terdapat kondisi di mana manusia dapat hidup berdampingan. Dalam hal kepentingan pribadi, manusia cenderung mengandalkan diri sendiri dan termotivasi untuk mencari kekuatan yang lebih besar. [6]
Kaum realis berpendapat bahwa fokus penelitian politik dunia seharusnya  terletak pada proses menemukan berbagai pendorong penting yang menggerakan hubungan-hubungan antar negara-negara. Mereka percaya bahwa pengejaran terhadap kekuasaan dan kepentingan nasional adalah kekuatan utama yang menggerakan perpolitikan dunia. Namun mereka menerima bahwa hukum dan moralitas merupakan bagian dari kinerja politik dunia tetapi pengharagaan pada hukum hanya akan dapat dicapaijika hukum tersebut disertai dengan ancaman kekuatan. [7]
Asumsi Dasar Teori Realisme dalam Hubungan Internasional
Teori realisme merupakan reaksi terhadap pemikiran utopianisme yang banyak didominasi oleh studi politik di Amerika Serikat dalam rentang tahun 1940-an hingga 1960-an. Teori Realisme berkembang pada 4 asumsi dasar[8], yakni:

1.      States are the principal or most important actors.

Negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional, yang juga menjadi unit analisis dalam studi hubungan internasional. Studi hubungan internasional merupakan studi terhadap unit-unit (negara-negara) tersebut. Realisme hanya menekankan negara sebagai aktor utama, walaupun dalam perkembangan hubungan internasional, aktor non-negara juga memiliki peran penting dalam percaturan politik dunia. Perusahaan multinasional, kelompok teroris, NGO, dan aktor non-negara lainnya terkadang diakui perannya oleh kaum realis, tetapi tidak begitu ‘mengambil’ peran dalam hubungan internasional. Negara-lah yang menjadi aktor utama dan dominan.

2.      The state is viewed as a unitary actor.

Negara dipandang sebagai unitary actor yang setidaknya bisa membuat suatu kebijakan terhadap suatu isu tertentu. Negara terintegrasi dengan dunia luar, yang menjadi ketunggalan dalam kedaulatannya terhadap percaturan politik internasional.

3.      The state is essentially a rational actor.

Negara dianggap sebagai aktor rasional, meskipun kaum realis sebenarnya takut pada kesalahpahaman orang-orang dalam memandang negara sebagai aktor rasional.

4.      National Security usually tops the list.

Bidang militer dan isu keamanan lain yang terkait mendominasi politik dunia. Kaum realis menganggap bahwa keamanan menjadi bagian paling penting dalam interaksi antar-negara. Terlebih karena sistem internasional pada dasarnya anarki dan manusia pada dasarnya egois dan haus akan kekuasaan. Kaum realis fokus pada potensi konflik yang terjadi antar-negara, sehingga pentingnya keamanan menjadi daftar paling atas dari setiap kepentingan aktor, yang dalam hal ini adalah negara berdaulat.
2.1.2        Model 1 : Aktor Rasional

Dalam model ini politik luar negeri dipandang sebagai akibat dari tindakan-tindakan actor rasional, terutama . Pembuatan keputusan politik luar negeri digambarkan sebagai suatu proses intelektual. Pemerintah dianalogikan sebagai dengan perilaku individu ang bernalar dan terkoordinasi. Analisis model pembuatan keputusan ini adalah pilihan-pilihan yang di ambil oleh pemerintah. Dengan demikian, analis politik  luar negeri harus memusatkan perhatian pada penelaah kepentingan nasional dan tujuan dari suatu bangsa, alternative-alternative haluan kebijaksanaan yang bisa diambil oleh pemerintahnya, dan perhitungan untung rugi atas masing-masing alternative itu.

Dalam model ini para pembuat keputusan itu dianggap rasional dan kita umumnya memang cenderung berpikir bahwa keputusan secara rasional, kelemahannya asumsi ini mengabaikan fakta bahwa para pembuat keputusan itu adalah manusia yang bisa membuat kesalahan dan yang selalu menghadapi berbagai kendala eksternal dari birokratnya sendiri, dari berbagai kelompok kepentingan , opini public dan sebagainya. Terutama dalam system demokrasi. Allison sadar akan kelemahan itu sehingga beliau mengajukan model lainnya, yaitu model “proses organisasi” dan “politik birokratik”.[9]

Untuk memperbaiki model pertama ini maka Allison membuat model ketiga yang berfokus pada politik birokratik yang diamana lebih menggambarkan bagaimana orang dapat mengambil kebijakan luar negeri atau politik luar negeri sesuai dengan peraturan yang ada. PLN adalah hasil dari proses interaksi, penyesuaian diri dan perpolitikan di antara berbagai actor dan organisasi, bargaining game antar bangsa, dengan kata lain pembuatan keputusan PLN adalah proses social, bukan intelektual. Jadi dalam Mode ketiga  digambarkan suatu proses dimana masin-masing pemain berusaha bertindak secara rasional harus memperoleh informasi tentang persepsi, motivasi, posisi, kekuasaan dan maneuver dari pemain-pemain yang terlibat didalamnya, setiap actor Negara berusaha menetapkan tujuannya, menilai berbagai alternlehative sarana dan menetapkan pilihan secara intelektual,  tidak ada pemain yang bisa memperoleh apa yang diinginkan dalam bergaining ini.( bisa di analogikan permainan catur ).[10]







BAB III
PEMBAHASAN
3.1 BIODATA DONALD TRUMP
Donal Trump lahir di New York City,  14 Juni 1946; umur 71 tahun) adalah pebisnis, tokoh televisi realita, politikus, dan Presiden Amerika Serikat ke-45. Sejak 1971, ia memimpin The Trump Organization, perusahaan induk utama untuk semua usaha properti dan kepentingan bisnis lain miliknya. Sepanjang karier bisnisnya, Trump telah membangun gedung perkantoran, hotel, kasino, lapangan golf, dan fasilitas bermerek lainnya di seluruh dunia. Ia terpilih sebagai presiden Amerika Serikat ke-45 pada pilpres 2016 dari Partai Republik; ia mengalahkan calon dari Partai Demokrat, Hillary Clinton. Ia dilantik pada tanggal 20 Januari 2017. Trump lahir dan besar di New York City. Ia meraih gelar sarjana dari jurusan ekonomi Wharton School di Universitas Pennsylvaniapada tahun 1968. Tahun 1971, ia mengambil alih kendali perusahaan properti dan konstruksi milik ayahnya, Fred Trump. Trump tampil di berbagai ajang Miss USA yang penyelenggaraannya dikuasai Trump sejak tahun 1996 sampai 2015. Ia juga tampil secaramendadak di sejumlah film dan seri televisi. Ia sempat mencalonkan diri sebagai presiden dari Partai Reformasi pada tahun 2000, namun mengundurkan diri sebelum pemungutan suara dimulai. Ia merupakan pembawa acara dan produser The Apprentice, seri televisi realita di NBC, pada tahun 2004 sampai 2015. Hingga 2017, ia terdaftar di Forbes sebagai orang terkaya ke-324 di dunia dan ke-113 di Amerika Serikat dengan kekayaan bersih $3,1 miliar.[11]
Pada Juni 2015, Trump mengumumkan pencalonan dirinya sebagai presiden dari Partai Republik dan langsung menjadi calon unggulan. Bulan Mei 2016, para pesaingnya di Partai Republik menghentikan kampanyenya masing-masing. Bulan Juli 2016, ia secara resmi dicalonkan sebagai presiden pada Konvensi Nasional Republik 2016. Kampanye Trump mendapat liputan media dan perhatian luas di dalam maupun luar negeri. Banyak pernyataan Trump dalam berbagai wawancara, Twitter, maupun kegiatan kampanyenya yang memicu kontroversi atau terbukti keliru. Sejumlah kegiatan kampanye Trump sepanjang pemilihan pendahuluan dibarengi oleh unjuk rasa. Setelah Trump memenangi pemilu, ia memulai proses transisi pemerintahan. Pada usia 70 tahun, ia merupakan orang tertua yang menjabat sebagai presiden Amerika Serikat.
Kebijakan Trump meliputi renegosiasi perjanjian dagang A.S.–Cina, penolakan terhadap beberapa perjanjian dagang seperti NAFTAdan Kemitraan Trans-Pasifik, penegakan hukum imigrasi yang lebih ketat serta membangun tembok di sepanjang perbatasan A.S.–Meksiko, reformasi perawatan veteran, pembatalan dan penggantian Undang-Undang Layanan Kesehatan Terjangkau (Affordable Care Act), dan pemotongan pajak. Setelah serangan Paris November 2015, Trump mengusulkan penghentian sementara imigrasi Muslim ke Amerika Serikat; ia kemudian mengubah rencana kebijakannya menjadi "pemeriksaan latar sangat ketat" dari negara-negara tertentu. [12]
3.1.1 Konflik Palestina – Israel
Merujuk perselisihan antara Palestina-Israel begitu panjang, berawal dari kekalahan kekaisaran Ottoman Kerajaan Turki pada pemerintahan Inggris dan sekutusekutunya;
khususnya Amerika Serikat dan Perancis. Namun pada tahun 1916, Rusia–Czar, Inggris dan Perancis
menandatangani suatu perjanjian yang dikenal sebagai “Sax – Picot”. Perjanjian tersebut membagi atas wilayah bekas kerajaan Turki[13] sebagai berikut:
1. Perancis menguasai negeri Syuria dari wilayah Turki sampai garis yang memanjang dari   Aka hingga Theberia yang sekarang meliputi: Syria, Libanon dan Galil.
2. Rusia – Czar menguasai wilayah Istambul.
3.Inggris menguasai wilayah Irak, Jordania dan Arab dan daerah Palestina

Inggris pada waktu itu, merupakan kekuatan terbesar dari Negara-Negara di wilayah Timur Tengah, sehingga warga Inggris, Laurence dengan berbagai cara melakukan operasi di daerah Hejaz untuk dapat menguasai di daerah – daerah Timur Tengah. Dengan melakukan manuver hubungan diplomatik kepada Raja Husein untuk melakukan gerakan operasi anti Turki, begitu juga ke Ibn Saud dari daerah Nejd untuk mengadakan operasi semenanjung Arab. Dari pengaruh diplomatik Laurence kepada Raja Husein, akhirnya beberapa perwira Inggris berhasil menduduki kota–kota Mekkah, Madinah dan Jeddah. Sebagai imbalan dari penguasaan wilayah tersebut, raja Husein diberi kekuasaan menguasai daerah Irak dan lembah Jordan, sedang daerah Hejaz diserahkan kepada Dinasti Saud. Untuk wilayah Palestina sendiri tetap menjadi wilayah mandat inggris.[14]

Pada tanggal 2 November 1917 Menteri Luar Negeri Inggris, James Balfour dalam surat menyuratnya kepada Presiden Federal Zionis Inggris, Lord Walter Rothschild, mengemukakan gagasan agar wilayah Palestina yang pada waktu itu merupakan wilayah mandat Inggris dijadikan pemukiman untuk masyarakat Yahudi. Gagasan mengenai pemukiman masyarakat Yahudi dari Kenya ke Palestina tersebut, sebagai tuntutan mayoritas kelompok kaum Zionis Internasional yang berpegang pada kitab injil kuno dan agama Yahudi, yang dikenal dengan perjanjian Deklarasi Balfour. Tujuan Deklarasi Balfour di atas, agar wilayah Palestina dijadikan “A National Home For The Jewish People“. Sebagai kebijakan dari James Arthur sebagai pemberi mandat Inggris pada waktu itu – meskipun beliau memahaminya dengan meminta warga Yahudi Kenya untuk mengungsi ke wilayah Palestina –Timur Tengah, dapat mengakibatkan terjadinya konflik yang begitu besar, antara orang–orang Yahudi sebagai pendatang dengan orang–orang Arab Palestina sebagai penghuni asli dari wilayah tersebut.

Namun itu semua dapat terjadi akibat peran Amerika Serikat dalam permainan percaturan politik di Palestina- Israel. Pada tanggal 11 Mei 1942 Organisasi Zionis Amerika Serikat mengadakan pertemuan di New York dan memutuskan suatu program dengan nama “Baltimore Programe” dengan tujuan lebih jauh dibandingkan dengan Balfour Declaration, sehingga sempat menimbulkan protes kalangan masyarakat Yahudi moderat di Eropa dan Amerika Serikat. Isi dari rencana Biltmore Programe, yang diusulkan oleh Ben Gurion selaku Ketua Komite Eksekutif Agensi Yahudi, yaitu: (1). Pembentukan negara Yahudi di seluruh wilayah Palestina, (2). Pembentukan Angkatan Darat Yahudi, (3). Pembentukan lembar putih 1939 dan pelaksanaan imigrasi Yahudi tanpa batas yang akan diawasi Agensi Yahudi, bukan pemerintah Inggris.[15]

Melaksanakan keputusan deklarasi Balfour tersebut. Dengan pertimbangan strategis sebagai berikut: (1). Masyarakat Zionis Yahudi di Eropa Timur dapat hidup dengan aman dan bahagia. (2). Terusan Suez berada dalam penguasaan negara Inggris. (3). Agar berguna sebagai pressure group masyarakat Yahudi di Amerika Serikat – dalam memperkuat dunia politik Amerika untuk kelanjutan peperangan. Hasil keputusan Deklarasi Balfour tersebut, menyebabkan wilayah Palestina yang awalnya dimiliki warga penduduk asli Palestina, sekarang sudah bergeser ke tangan masyarakat Zionis Yahudi yang telah menguasai wilayah Palestina sebesar 2/3 dari jumlah keseluruhan wilayah Palestina, sehingga menimbulkan konflik yang tak bersudahan di antara warga sipil Palestina dengan militer Israel. Konflik terjadi di wilayah Palestina sejak mulai dari tahun 1948, 1956, 1967 dan 1973 hingga sekarang, walaupun dari sebagian besar kepala negara negara Timur Tengah sangat ingin mendamaikan perselisihan tersebut, terlihat “ketika berbagai pihak yang terlibat dalam pertikaian, setuju mengadakan konferensi Madrid, 30-31 Oktober 1991”.[16]

Namun dari pihak pemerintah Amerika Serikat dan Inggris tak henti–henti memberikan bantuan dukungan persenjataan teknologi kepada Israel dalam melakukan operasi penyerangan militer dan proses pembangunan pemukiman ke wilayah Palestina. Amerika Serikat tidak tanggung-tanggung memberikan dukungannya kepada pemerintahan Israel dengan melakukan kerjasama militer dalam hal pelatihan uji coba persenjataan teknologi canggih “Iron Dome” buatan dari Amerika, yang digunakan pemerintahan militer Israel, Benjamin Netanyahu di dalam melakukan penyerangan ke wilayah Palestina. Hal penting dukungan presiden Amerika Barack Obama dalam kebijakan politik luar negeri-nya terhadap pemerintahan militer Israel adalah guna memperlancar bisnis persenjataan di kedua belah pihak dalam hal pemenuhan kepentingan nasionalnya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Holsti, bahwa pada dasarnya hubungan mempunyai sifat konflik bahkan dalam bentuk kerjasama antar pemerintah, sering terjadi perbedaan pandangan. Dukungan Amerika Serikat terhadap Israel memberikan keleluasaan bagi pemerintahan Israel untuk melakukan agresi militernya ke wilayah Palestina secara angkuh dengan maksud memberikan pesan diplomatik dari pemerintahan Benjamin Netanyahu kepada negaranegara lain, bahwa kekuatan militer Israel merupakan simbol kekuatan super power, setelah negara adidaya Amerika Serikat. Dengan kearogansian kekuatan militernya Israel secara bebas melakukan penyerangan rudal ke wilayah Palestina, tanpa memperdulikan hak asasi manusia suatu negara. Menurut Morgenthau bahwa mengejar kekuasaan dapat membentuk dan mempertahankan pengendalian negara terhadap negara lain dan Lembaga-Lembaga Internasional, khususnya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tidak menghentikan tindakan tersebut, yang mungkin saja memberikan dampak besar terhadap negara–negara lain, khususnya Israel dalam mewujudkan kekuasaan yang dimilikinya di wilayah Timur Tengah. [17]

Menurut Morgenthau (1990:118) dalam teori Politik Prestise,
“bahwa tujuan dari ini semua merupakan untuk menimbulkan kesan kepada negara–negara lain dengan kekuasaan yang sesungguhnya dimiliki oleh negara–negara itu sendiri, atau dengan kekuasaan yang dirasakan dimilikinya, atau supaya yang dimiliki itu dipercaya oleh negara-negara lain”.
Oleh karena itu, Pemerintah Amerika Serikat tetap ikut berperan aktif di dalam setiap permasalahan–permasalahan konflik yang terjadi di wilayah Timur Tengah, khususnya
di Palestina. Hal itu karena, Amerika Serikat ingin tetap eksis dalam mewujudkan dirinya sebagai negara super power serta memperkuat pengaruh hegomoninya terhadap negara-negara lainnya, sekaligus membuktikan diri sebagai negara adidaya yang terdepan di antara negara-negara lain, khusunya dalam penentuan penyelesaian perdamaian dunia.

3.1.2  PERAN AMERIKA  DALAM PERDAMAIAN DAN PENYELESAIAN KONFLIK  ISRAEL-PALESTINA

Peran pemerintah Amerika Serikat di dalam menyelesaikan permasalahan konflik yang terjadi di wilayah Timur Tengah, khususnya Palestina–Israel sangatlah penting. Amerika Serikat termasuk bagian dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa–Bangsa, yang mempunyai tugas dan fungsi sebagai lembaga perdamaian dunia, khususnya di Lembaga Dewan Keamanan PBB. Untuk itu, dibutuhkan peran anggota–anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa–Bangsa untuk mewujudkan perdamaian dunia. Meskipun diketahui bahwa betapa besarnya upaya Lembaga PBB dalam hal menyelesaian perselisihan Palestina – Israel, dengan mengeluarkan beberapa resolusi guna menciptakan perdamaian dunia. Resolusi-resolusi itu seperti; resolusi No. 181 tahun 1947, No. 242 tahun 1967, No. 338 tahun 1973 dan resolusi dewan keamanan No. 694 tahun 1991. Juga diadakannya konferensi madrid tahun 1991 dan perundingan Oslo tahun 1993 yang disebut perundingan Ghaza – Ariha. [18]

Namun apa yang diupayakan oleh Pimpinan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Kimon di dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel, tidak membuahkan hasil secara optimal. Malah semakin parah dan tidak ada ujung pangkalnya untuk mengakhiri perselisihan yang terjadi di negeri suci itu. Terutama, tindakan-tindakan penyerangan yang dilakukan oleh Israel – 10 tahun yang lalu, pada masa pemerintahan Yaser Arafat melakukan mediasi perundingan di antara Palestine Liberty Organization with al Harakatul Muqawwamatul Islamiyah Group and Intifhada. Presiden Arafat dicurigai sebagai pemersatu bangsa Palestina, sehingga bagi pemerintahan  Israel, hal ini akan mempersulit langkah-langkahnya dalam melakukan pembangunan pemukiman bagi warga  Yahudi di Jalur Gaza. Dalam proses perundingan yang difasilitasi oleh Presiden Palestina Yaser Arafat, belum terjadi kesepakatan di kedua bela pihak yang sedang berselisih antara Israel-Hamas dan Intifhada, beliau terlebih dahulu kena musibah keracunan- berdasarkan penyelidikan sementara berasal dari sikat gigi dan pakaian yang dikenakannya mengandung radioaktif (Berita Antara,2012).

Posisi Amerika Serikat.
Di mata Amerika Serikat, Israel adalah sebuah asset strategis yang secara dasar-dasar moral harus didukung penuh karena Israel adalah penganut demokrasi sekuler dengan gaya hidup Barat. Bahkan menduduki posisi-posisi penting dalam sistem pemerintahan di Amerika Serikat seperti Dewan Keamanan Nasional (NSC), Departemen Luar Negeri, Intelejen bahkan Kongres konsisten mendukungnya. Oleh karena itu, tidak seorangpun kandidat presiden Amerika Serikat dalam politik Israel sangat berpengaruh, dalam banyak hal kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah sangat menggambarkan bagaimana komitmen Amerika Serikat dalam mempertahankan hubungan dengan Israel dan menempatkannya sebagai mitra khusus. Dengan status istimewa tersebut, Israel mendapat dukungan politik, ekonomi, dan militer yang luar biasa dari Amerika Serikat, saat menghadapi bahaya.Dan sudah bisa di pastikan dimana posisi Amerika Serikat dalam konflik Palestina-Israel adalah Amerika Serikat lebih cenderung memihak pada sekutunya Israel. [19]

Berikut adalah berbagai perundingan yang telah dilaksanakan antara Israel dan Palestina melalui jasa mediasi Amerika Serikat :
1). Perundingan Oslo I
Perundingan Oslo I berlangsung selama kurang lebih delapan kali dengan 14 kali pertemuan diawali sejak 20-22 januari tahun 1993.Dari perundingan ini dihasilkan suatu kerangka kesepakatan berisi 17 pasal ditambah dengan 4 pasal tambahan, dan dikenal dengan deklarasi prisip atau DOP (declaration of principles on interim self govermant arrangement).
2). Perundingan Oslo II
Dalam perundingan Taba (Oslo II) pada tanggal 28 september 1995 guna memperluas wilayah otonomi Palestina, Israel menunjukan komitmennya untuk mantaati hasil kesepakatan Oslo I dengan kesediaannya untuk mundur dari tujuh kota di tepi barat, yakni : Jenon. Tulkarem, Qalqiliyah, Nablus, Bethlehem, Ramallah, dan Hebron. Enam kota yang disebut pertama telah diserahkan kepada pihak palestina pada bulan november dan desember 1995, kecuali Hebron. Untuk wilayah terakhir ini, pemerintah Israel hanya bersedia menyerahkan 80% wilayah pendudukan (area H-1). Sedangkan di seperlima wilayah tersebut (area H-2), pasukan Israel akan tetap bertahan dengan dalih untuk melindungi para pemukim Yahudi.


3). Perundingan Hebron
Pada masa Netanyahu tercapai persetujuan Hebron pada 15 januari 1997 yang Israel bersedia menyelesaikan penerikan pasukan selama 10 hari sejak penandatanganan persetujuan. Disamping itu, juga tercapai kesepakatan yang mengharuskan Israel untuk melakukan tiga tahap penarikan pasukannya dari wilayah-wilayah pedesaan tepi barat antara bulan maret hingga agustus 1998.
4). Perundingan Wye River I
Perundingan Wye River I merupakan usaha presiden Clinton untuk menundukan kembali kedua belah pihak ke depan meja perundingan sejak desember 1997. Berkat usaha intensif AS untuk mengatasi jalan buntu, Israel dan Palestina berhasil memulai kembali proses perundingan yang sempat terhenti selama berbulan-bulan. Dari pertemuan-pertemuan selama 9 hari di Wye Plentation Maryland, AS.Kemudian tercapai kesepakatan yang menghasilkan memorandum Wye River I tanggal 23 oktober 1998.Ketentuan- ketentuan dari memorandum Wye River I sebenarnya merupakan kelanjutan dari ketentuan Oslo II dan protokol Hebron yang belum tuntas di implementasikan oleh Israel.
5). Perundingan Wye River II
Hasil kesepakatan Wye River I yang tidak diimplementasikan oleh pemerintah Netanyahu diupayakan untuk direalisasikan oleh penggantinya Ehud Barak. Dalam pertemuan Palestina-Israel yang berlangsung di Sharm El Sheikh, Mesir, berhasil ditandatangani sebuah memorandum ( yang lebih dikenal sebagai memorandum Wye River II) pada tanggal 4 september 1999. Disamping memuat ketentuan seperti yang sudah disebutkan daalam Wye River I, dalam kesepakatan yang terakhir ini juga dijumpai hal-hal baru serta revisi dari sebagian ketentuan Wye River I, seperti penundaan deklarasi negara Palestina merdeka sampai september 2000, pembatalan 3% cagar alam di lembah Yordan, dan ketentuan tentang dimulainya perundingan status Final. Kesepakatan ini akan berlaku efektif mulai 10 september 1999.
6). Perundingan Camp David II
Perundingan Palestina-Israel yang berlangsung di Camp David, Maryland-AS, selama 15 hari sejak 11 juli hingga 25 juli 2000, sebenarnya lebih didorong oleh sikap tergesa-gesa dan rasa optimisme yang berlebihan terutama dari P.M Ehud Barak dan Presiden Bill Clinton. Munculnya optimisme yang besar dan dialamai oleh Ehud Barak serta Bill Clinton tersebut didasari oleh telah tercapainya beberapa alternatif pemecahan tentang isu-isu paling rumit dalam konflik Palestina-Israel, seperti status kota Jerussalem Timur, masalah pengungsi Palestina, masalah pemukiman Yahudi, pembagian jatah air, dan masalah perbatasan Palestina-Israel. Alternatif-altenatif pemecahan masalah itu antara lain adalah draft kesepakatan rahasia Stockholm dan dokumen AS yang akan digunakan sebagai formula pemecahan jalan tengah.
7). Konferensi Annapolis 2007
Agenda konferensi Annapolis mencakup enam masalah pokok yaitu Negara kedaulatan Palestina, status final kota Jerussalem sebagai ibukota Palestina, perbatasan, pengungsi Palestina, pemukiman Yahudi, keamanan, dan pembagian sumber air. Kesepakatan penting dalam konferensi Annapolis kedua pihak sepakat untuk menciptakan mekanisme monitoring implementasi peta jalan, yang isinya pendirian Negara Palestina merdeka yang berdampingan dengan damai bersama Israel. Konferensi ini juga menyepakati pengguliran proses negosiasi langsung antara Israel dan Palestina setiap dua minggu sekali dengan Amerika Serikat bertindak sebagai penengah.

Banyak indikator untuk menilai ketidakberhasilan konferensi Annapolis.Awal masa konferensi Annapolis memang terjadi gencatan senjata antara pejuang Hamas dan tentara Israel, terutama di Jalur Gaza selama beberapa bulan.Tetapi disaat presiden Palestina Mahmoud Abbas dan perdana menteri Israel Ehud Olmert berunding, pembangunan pemukiman Yahudi di Al-Quds Timur justru ditingkatkan oleh pemerintah Isreal. Kesepakatan akhir dari konferensi Annapolis untuk menciptakan Negara Palestina yang berdaulat berdampingan dengan Negara Isreal yang berdaulat secara damai, tetapi dengan perkembangan situasi konflik Palestina-Israel yang masih rentan proses perdamaian kedua Negara masih jauh dari proses perwujudan perdamaian. Apalagi Israel tetap bertahan dengan kebijakan politiknya yang serba tolak terhadap palestina. Secara tegas Israel menolak pembekuan pembangunan pemukiman yahudi, menolak pembicaraan masa depan tentang Yerussalem yang telah diduduki sejak perang 1967. Dengan demikian Israel secara langsung menghambat proses pembentukan Negara Palestina yang berdaulat, Yerussalem sebagai ibukota Palestina. Namun pada kenyataannnya Amerika Serikat tetap saja berkeinginan untuk menjadi juru damai terhadap negosiasi dan resolusi konflik Israel-Palestina tersebut. Pada era kepemimpinan Barack Obama upaya mediasi Amerika Serikat terhadap penyelesaian konflik Palestina-Israel dijalankan melalui mekanisme negosiasi langsung (Direct Negotiation Between Israel and Palestinians) pada 2 September 2010.[20]

Mediasi atas prakarsa Amerika Serikat ini dijalankan melalui forum tripartit yang terdiri dari tiga perwakilan, yaitu:
1.      Presiden Amerika Serikat Barack Obama sebagai fasilitor negosiasi langsung.
2.      Perdana Menteri Benyamin Netanyahu sebagai wakil dari Israel.
3.      Mahmoud Abbas sebagai wakil dari ketua otoritas Palestina.

Prakarsa Barack Obama yang diharapkan dapat menjadi perundingan akhir ke arah perdamaian ternyata mengalami kegagalan seperti halnya perundingan-perundingan sebelumnya. Sebelum negosiasi langsung yang diadakan pada September 2010 diatas terealisasi, Barack Obama juga telah melakukan pembicaraan empat mata baik dengan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas dan pemimpin Israel Benyamin Netanyahu.[21]
Beberapa pertemuan yang berhasil terealisasi antara lain :

a.       Pengiriman utusan Amerika Serikat sebagai wakil Obama, George Mitchell ke Palestina untuk bertemu dengan pemimpin otoritas Mahmoud Abbas pada 10 Mei 2009 di Ramallah. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk meredakan ketegangan antara Amerika Serikat dan Pelestina akibat pembangunan pemukiman Yahudi.
b.      Pertemuan Obama dan Netanyahu pada tanggal 25 Maret 2010 di Washington. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari kunjungan wakil presiden Amerika Serikat Joseph Biden pada 9 Maret 2010.Dalam pertemuan tersebut Obama menyatakan bahwa Netanyahu menolak berbagai masukan dari Obama untuk membatalkan pembangunan Baitul Maqdis Timur.
c.       Pertemuan antara Obama dan Netanyahu pada 10 September 2010 di Gedung Putih. Pertemuan ini tidak digelar secara terbuka, wartawan dilarang masuk dan hanya berlangsung kurang dari 40 menit. Setelah pertemuan tersebut Obama menyampaikan dalam konferensi pers bersama bahwa Israel akan bermurah hati mengendalikan pembangunan pemukiman di Tepi Barat. Selain mengadakan pertemuan secara bilateral dengan pihak Israel, Barack Obama juga berhasil menggelar beberapa forum pertemuan dengan pihak Palestina, meskipun secara tidak langsung.

Pembicaraan melalui telefon antara Barack Obama dengan Mahmoud Abbas pada 10 Juli 2010. Dalam pembicaraan tersebut akan diusahakan tentang prakarsa Amerika Serikat dalam mewujudkan kehidupan masyarakat Palestina dan Israel untuk dapat hidup berdampingan. Sejak Persetujuan Oslo, Pemerintah Israel dan Otoritas Nasional Palestina secara resmi telah bertekad untuk akhirnya tiba pada solusi dua negara.
Masalah-masalah utama yang tidak terpecahkan di antara kedua pemerintah ini adalah:
1.      Status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang mencakup wilayah-wilayah dari Negara Palestina yang diusulkan.
2.      Keamanan Israel.
3.      Keamanan Palestina.
4.      Hakikat masa depan negara Palestina.
5.      Nasib para pengungsi Palestina.
6.      Kebijakan-kebijakan pemukiman pemerintah Israel, dan nasib para penduduk pemukiman itu.
7.      Kedaulatan terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem, termasuk Bukit Bait Suci dan kompleks Tembok (Ratapan) Barat.

3.1.3 KEGAGALAN DONALD TRUMP DALAM MENCIPTAKAN PERDAMAIAN ISRAEL-PALESTINA

Jika mantan presiden Amerika Serikat yang ke 44 Barack Obama, melakukan berbagai macam cara untuk mewujudkan dan menciptakan perdamaian Israel-Palestina melalui berbagai macam cara dan menjadikan Amerika Serikat sebagai mediasi atau jalan tengah perdamaian tersebut maka lain halnya dengan Presiden Amerika Serikat ke 45 Donald Trump yang dikenal dengan presiden yang sangat kontraversial dengan berbagai kebijakannya. Baru-baru ini  tepatnya tanggal 6 Desember 2017 dunia dikejutkan dengan pidato Donal Trump di gedung putih yang secara sepihak mengumumkan pada dunia bahwa Amerika Serikat telah tiba  saatnya untuk mengakui secara resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Trump juga mengatakan bahwa Yerusalem adalah kursi bagi pemerintah modern Israel, rumah bagi parlemen Israel, Knesset, rumah bagi Mahkamah Agung. Dia juga menambahkan Israel memiliki hak untuk menentukan ibu kotanya dan penundaan penetapan Yerusalem sebagai ibu kota Israel selama ini tidak membawa apapun dalam mencapai perdamaian. [22]
Hal ini tentu sangat  akan munculnya 'konsekuensi berbahaya' jika AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Dan akan mengundang konflik apabila tel aviv dipindahkan ke yerusalem. Para presiden AS sebelumnya yang dimulai dari era Clinton sampai Obama, enggan untuk mengeksekusi UU AS tahun 1995 tentang pemindahan Kedubes dari tel Aviv ke Jerusalem. Soalnya mereka khawatir itu akan memicu protes dan kekerasan dari warga di kawasan Timur Tengah serta wilayah lainnya, yang akhirnya bisa membahayakan kepentingan nasional AS. hal ini akan mengancam proses perdamaian israel-palestina. Langkah yang di ambil oleh Trump tidak akan menciptakan perdamain kedua belah pihak tetapi akan  muncul fanatisme dan kekerasan. Sementara itu, presiden palestina Mahmood Abbas menggalang dukungan dari dunia internasional untuk bekerjasama mencegah presiden Donal Trump untuk membatalkan keputusan tersebut. Keputusan yang membuat  masyarakat palestina merasa tidak adil dan tentunya melukai umat muslim seluruh dunia.  [23]

Keputusan Donald Trump banyak dikecam oleh berbagai negara tidak hanya negara-negara islam tetapi negara-negara eropa pun mengeluarkan pernyataan yang mengecam keputusan tersebut. Keputusan itu dinilai telah menghancurkan rencana perdamain  kedua negara, dan menggagalkan usaha Amerika yang dimana seharusnya sebagai mediasi/ perantara perdamaian kedua negara. Trump dianggap telah gagal dalam memelihara perdamaian Israel-Palestina. Keputusan Trump mengakui seluruh wilayah Yerusalem sebgai ibu kota israel memutarbalikan kebijakan AS bahwa status kota itu harus diputuskan melaui negosiasi dan jalur diplomasi dengan pihak Palestina 

3.1.4 TANGGAPAN DUNIA INTERNASIONAL

Petisi Trump tersebut tentu membangkitkan kemarahan besar negara-negara islam dan mendapat kecaman keras.
Yordania dan Arab Saudi sebagai penjaga situs suci islam, telah mengeluarkan peringatan bahwa langkah ini telah membuat marah umat islam seluruh dunia. Indonesia sebagai negara yang bermayoritas agama islam tentu sangat kecewa dengan keputusan sepihak itu. Hingga pemerintah Indonesia mengijinkan aksi bela palestina 17 desember 2017 yang dimana aksitersebut merupakan bagaian dari luapan solidaritas kepada rakyat palestina, indonesia menganggap tindakan trump melanggar berbagai resolusi dewan keamanan dan majelis umum PBB dimana AS merupakan anggota tetapnya. Indonesia mendesak PBB dan OKI untuk segera membahas dan menentukan sikap.[24]
Paus Fransiskus sebagai bapa seluruh umat katholik mengeluarkan pernyataan bahwa semua negara harus  menghormati status quo kota sesuai dengan resolusi PBB yang relevan. Uni Eropa meminta dimulainya kembali proses perdamaian yang berarti menuju solusi dua negara dan harus ditemukan suatu cara melalui negosiasi untuk menyelesaikan status yerusalem sebagai ibu kota masa depan dua negara. Perancis sangat menyesalkan keputusan Trump dan mengkehendaki agar segara membatalkan pernyataan tersebut. Cina dan Rusia prihatin akan keputusan tersebut dan akan mengakibatkan peningkatan ketegangan di wilayah tersebut. Inggris   sangat tidak setuju karena hal itu tidak membantu prospek perdamaian di wilayah itu. Jerman tidak setuju dengan keputusan tersebut karena status  yerusalem hanya dapat dirundingkan dalam kerangka solusi dua negara. Kelompok Hammas  menyebut Trump tanpa sadar telah membuka gerbang neraka. Iran mengutuk amerika dan menyebut hal ini kan menyulut gerakan intifada baru atau pemberontakan melawan israel. Lebanon sangat menyesali perbuatan Trump dan akan membantu palestina untuk mendirikan sebuah negara yang merdeka  dan yerusalem sebagai ibu kotanya. Seluruh member PBB mendesak PBB untuk segera menggelar sidang darurat untuk membahas keputusan Amerika Serikat. [25]

3.1.5 UPAYA PBB DALAM MENYELESAIKAN KONFLIS ISRAEI-PALESTINA

Majelis Umum PBB akan melakukan sidang darurat dan pemungutan suara atas sebuah resolusi untuk menolak keputusan Presiden AS Donald Trump tepat pada tanggal 21 desember 2017 . AS secara sepihak mendeklarasikan Yerusalem sebagai ibukota Israel dan berencana memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv. Sampai saat ini, berbagai resolusi PBB sebelumnya menyebutkan bahwa status Yerusalem baru akan ditetapkan dalam sebuah perundingan perdamaian Israel-Palestina. Sebelumnya di Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat mengalami kekalahan telak setelah semua dari 15 anggota, kecuali Amerika Serikat, menentang keputusan Donald Trump. AS lalu menggunakan hak vetonya. Berbeda dengan sidang Dewan Keamanan, di Sidang Majelis Umum tidak ada negara yang memiliki hak veto. Semua 193 negara anggota PBB punya hak suara yang sama. Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Malki mengatakan, sesi Majelis Umum akan menunjukkan "berapa banyak negara yang memilih dengan hati nurani mereka." Berbeda dengan resolusi Dewan Keamanan, resolusi Majelis Umum tidak bersifat mengikat. Sekalipun begitu, resolusi Majelis Umum akan memiliki bobot politik di panggung diplomasi. Rancangan resolusi itu menyebutkan, keputusan mengenai status Yerusalem yang diambil Amerika Serikat tidak memiliki dampak hukum dan harus dibatalkan. Tanpa menyebutkan nama Donald Trump, resolusi itu menyatakan "penyesalan mendalam atas keputusan baru-baru ini mengenai status Yerusalem. Kalangan diplomat memperkirakan akan muncul dukungan kuat untuk resolusi tersebut, yang tidak bersifat mengikat.[26]

Beberapa upaya PBB dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina [27] antaralain :
1.  Resolusi tentang HAM Resolusi A/55/133 isinya mengenai tindakan –tindakan Israel yang melakukan pelanggaran terhadap rakyat Palestina (mengenai pencaplokan, pendirian perkampungan Yahudi dan penutupan daerah). Dalam resolusi ini, Majelis Umum menitik beratkan pada perlunya menjaga integritas territorial seluruh wilayah pendudukan Palestina, termasuk menghilangkan pembatasan yang dilakukan oleh Israel.
2.  Resolusi A/55/128 mengenai tanah kepemilikian Palestina sesuai dengan Prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan.
3.   Resolusi A/56/142 hak rakyat Palestina dalam menentukan nasib sendiri.
4.  Upaya pembentukan road map yang disepakati oleh komite Kwartet, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa dan Sekjen PBB.
5.  Resolusi PBB No.181 tahun 1947 mengenai pembagian wilayah bagi bangsa Palestina dan Yahudi.
6.  Pembentukan komisi I khusus untuk mengatasi menangani masalah pengungsi Palestina, yaitu UN Conciliation Commission For Palestine (UNCCP) yang kemudian pada tahun 1950 juga membentuk sebuah badan Pengungsi Palestina dengan nama UN Relief and Works Ageny (UNRWA).
7.  Resolusi No. 194 yang berbunyi :
“Majelis umum menegaskan bahwa harus di izinkan secepat mungkin bagi pengungsi yang ingin kembali kerumah mereka dan hidup damai dengan tetangganya, dan demikian juga harus mendapat ganti rugi dari harta benda yang ditinggalka, dan mendapat ganti rugi dari kerugia atau kerusakan harta benda sesuai dengan hukum Internasional dan standar keadilan bagi mereka yang tidak ingin kembali lagi.”
8.  Resolusi No. 338 penyeruan mengenai gencatan senjata bagi pihak yang bertikai dan mengakhiri aksi bersenjata kedua pihak
9.  Resolusi No. 1276 yang meminta kedua pihak serius untuk menghentikan gencatan senjata.





















BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dikemukakan diatas dapat disimpulkan yang mana posisi Amerika Serikat dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel adalah Amerika Serikat cenderung memihak pada Israel.Dimana hampir sebagian besar penduduk Amerika Serikat adalah keturunan Yahudi, dan mereka pun mempunyai organisasi-organisasi yang terstruktur yang menduduki posisi-posisi tertentu di dalam pemerintahan.Dan hampir sebagian besar perekonomian Amerika Serikat di kuasai oleh orang Yahudi.Bahwa konflik Palestina-Israel merupakan perpanjangan dari konflik Arab-Israel.Konflik antara Palestina-Israel adalah merupakan sengketa wilayah yang mana telah dilakukan pembagian wilayah PBB tetapi pembagian tersebut tidak memuaskan kedua belah pihak sehingga timbullah konflik diantara kedua belah pihak. Konflik Palestina-Israel bukan konflik SARA, melainkan akan menjurus ke konflik SARA.
Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai sebuah organisasi yang menaungi hampir seluruh negara telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi terealisasinya perdamaian kedua bangsa ini.Begitu banyak resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan, tetapi kesemuanya tidak membuahkan hasil.Amerika Serikat yang sekaligus sebagai mediator dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel tidak menghasilkan apapun
Meski mendapat banyak Kecaman dari berbagai negara, Donal Trump tetap tidak ingin membatalkan keputusan tersebut. Bahkan dia mencatat negara-negara yang menantang tindakannya dan mengancam untuk tidak memberikan bantuan kepada negara-negara tersebut apabila mereka membutuhkan.


REFERENSI :

2.      A. Oberschall. 1978. "Theories of Social Conflict". Annual Review of Sociology. Vol. 4. Page:291-315 diakses pada 7 januari 2018 jam 0.03
3.      Ralph Scoenman. 2007. "The Hidden Histroy of Zionism". Terjemah: Joko. S. Kahhar. Sejarah Zionisme yang Tersembunyi. Sajadah Perss. diakses pada 7 januari 2018  jam 0.10
4.      Trias Kuncahyono. 2008. Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir. Jakarta: Kompas), diakses 7 januari 2018 , jam 0.16
5.      https://www.seniberpikir.com/teori-realisme-dalam-hubungan-internasional/ diakses pada 7 Januari 2018, jam 22.38
6.      Goodin, Robert E. (2010). The Oxford Handbook of International Relations. Oxford: Oxford University Press. hal. 132, diakses pada 7 januari 2018 , jam 22.48
7.      Morgenthau, Hans, 1948. Politics Among Nations, (New York: Knopf) Chapters 1 and 2, diaksespada 7 Januari 2018, jam 23.12
8.      Jack Donnelly, “The Ethics of Realism”, in Christian Reus-Smit, Duncan Snidal (eds.), The Oxford Handbook of International Relations, Oxford University Press, hal. 150, diakses 7 januari 2018 23.14
9.      James. E Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff.jr “contending  theories of international relations” hal 465-468, diakses 7 januari 2018 , jam 23.41
11.  https://www.biography.com/people/donald-trump-9511238, diakses pada 8 januari 2018, jam 22.29
12.  Kamisar, Ben (October 9, 2016). "Trump: Muslim ban 'morphed' into 'extreme vetting'". The Hill. Diakses 8 januari 2018, jam 22.40
13.  M. Riza Sihbudi dan M. Hamdan Basyar. Konflik dan Diplomasi Di Timur Tengah. Eresco. Bandung. 1993. Diakses 8 januari 2018, jam 23.40
14.  Rahmatullah. Peran PBB dalam Penyelesaian Konflik Palestina – Israel Tahun 1991 – 2001. Jakarta. 2001, diakses pada 8 januari 2018,jam 23.45
15.  Ibid , hal 49
16     M. Riza Sihbudi dan M. Hamdan Basyar. Konflik dan Diplomasi Di Timur Tengah. Eresco. Bandung. 1993.  Diakses 9 januari 2018, jam 0.02
17     Mohtar Mas’oed. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. LP3ES. Jakarta. 1990. Diakses 9 januari 2018 , jam 0.12
18.   library.gunadarma.ac.id/.../peran-amerika-serikat-dalam-menciptakan-perdamaian-Israel-paestina, diakses 9 januari 2018, jam 0.38
20.   Zainudin Moh, 2011, Jejak-Jejak Nyata Amerika Mengobok-Obok Wajah Dunia, Laksana, Jogjakarta.  Diakses pada 9 januari 2018, jam 10.33
21.   http://pirhot-nababan.blogspot.com/2008/04/sejarah-konflik-palestina-israel.html , diakses pada 9 januari 2018, jam 10.43
23.   www.bbc.com/indonesia/dunia-42224270. diakses pada 9 januari 2018. Jam 21.47
24.   www.kompas/indonesia.com diakse pada 9 januari 2018,jam 22.53




[2] A. Oberschall. 1978. "Theories of Social Conflict". Annual Review of Sociology. Vol. 4.
Page:291-315 diakses pada 7 januari 2018 jam 0.03
[3]Ralph Scoenman. 2007. "The Hidden Histroy of Zionism". Terjemah: Joko. S. Kahhar. Sejarah Zionisme yang Tersembunyi. Sajadah Perss. diakses pada 7 januari 2018  jam 0.10
[4] Trias Kuncahyono. 2008. Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir. Jakarta: Kompas), diakses 7 januari 2018 , jam 0.16
[6] Goodin, Robert E. (2010). The Oxford Handbook of International Relations. Oxford: Oxford University Press. hal. 132, diakses pada 7 januari 2018 , jam 22.48
[7] Morgenthau, Hans, 1948. Politics Among Nations, (New York: Knopf) Chapters 1 and 2, diaksespada 7 Januari 2018, jam 23.12
[8] Jack Donnelly, “The Ethics of Realism”, in Christian Reus-Smit, Duncan Snidal (eds.), The Oxford Handbook of International Relations, Oxford University Press, hal. 150, diakses 7 januari 2018 23.14
[9] James. E Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff.jr “contending  theories of international relations” hal 465-468, diakses 7 januari 2018 , jam 23.41
[11] https://www.biography.com/people/donald-trump-9511238, diakses pada 8 januari 2018, jam 22.29
[12] Kamisar, Ben (October 9, 2016). "Trump: Muslim ban 'morphed' into 'extreme vetting'". The Hill. Diakses 8 januari 2018, jam 22.40
[13] M. Riza Sihbudi dan M. Hamdan Basyar. Konflik dan Diplomasi Di Timur Tengah. Eresco. Bandung. 1993. Diakses 8 januari 2018, jam 23.40
[14] Rahmatullah. Peran PBB dalam Penyelesaian Konflik Palestina – Israel Tahun 1991 – 2001. Jakarta. 2001, diakses pada 8 januari 2018,jam 23.45
[15] Ibid , hal 49
[16] M. Riza Sihbudi dan M. Hamdan Basyar. Konflik dan Diplomasi Di Timur Tengah. Eresco. Bandung. 1993.  Diakses 9 januari 2018, jam 0.02
[17] Mohtar Mas’oed. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. LP3ES. Jakarta. 1990. Diakses 9 januari 2018 , jam 0.12
[18] library.gunadarma.ac.id/.../peran-amerika-serikat-dalam-menciptakan-perdamaian-Israel-paestina, diakses 9 januari 2018, jam 0.38
[20] Zainudin Moh, 2011, Jejak-Jejak Nyata Amerika Mengobok-Obok Wajah Dunia, Laksana, Jogjakarta.  Diakses pada 9 januari 2018, jam 10.33
[21] http://pirhot-nababan.blogspot.com/2008/04/sejarah-konflik-palestina-israel.html , diakses pada 9 januari 2018, jam 10.43

[23] www.bbc.com/indonesia/dunia-42224270. diakses pada 9 januari 2018. Jam 21.47
[24] www.kompas/indonesia.com diakse pada 9 januari 2018,jam 22.53