KEGAGALAN
DONALD TRUMP DALAM ME-MAINTANCE KONFLIK
ISRAEL DAN PALESTINA
Dosen
:
Hendra
Maujana Saragih, S.Ip,M,Si
Disusun
oleh :
Maria
Krista Elen Klaran Tahu
NPM:
163112350750003
Mata
kuliah :
Politik
Internasional
Program
Studi Hubungan Internasional
Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu politik
Universitas
Nasional
Jakarta
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Konflik
Israel-Palestina boleh jadi merupakan konflik yang memakan waktu panjang
setelah Perang Salib yang pernah terjadi antara dunia Timur dan Barat disekitar
abad keduabelas. Konflik yang telah berlangsung enam puluhan tahun ini menjadi
konflik cukup akut yang menyita perhatian masyarakat dunia. Apa yang pernah
diprediksi Amerika melalui Menteri Luar Negerinya, Condoleezza Rice, pada
Konfrensi Perdamaian Timur Tengah November 2008 lalu, sebagai "pekerjaan
sulit namun bukan berarti tidak dapat ditempuh dengan kerja keras dan
pengorbanan" bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina, semakin
menunjukkan bahwa perdamaian Israel-Palestina memang sulit diwujudkan.
Pasalnya, akhir 2008 yang diprediksi dunia Internasional (dalam hal ini
Amerika) sebagai puncak penyelesaian konfik Israel-Palestina justru menampakkan
kondisi sebaliknya. Agresi meliter Israel ke Jalur Gaza yang dilancarkan
sebulan terakhir ini semakin memperkuat keraguan banyak pihak atas keberhasilan
konfrensi tersebut.[1]
Tercatat
tidak kurang dari seribu lebih warga Palestina mengalami korban jiwa dan lebih
dari dua ribu korban luka lainnya dalam waktu sepekan serangan udara yang
dilancarkan pasukan Israel ke Jalur Gaza. Tidak hanya sampai di situ, Israel
bahkan mulai melakukan serangan darat dengan dalih ingin melucuti sisa-sisa
roket yang dimiliki pejuang Hamas, sebuah gerakan perlawanan Islam di Palestina
yang menjadi alasan penyerangan Israel ke wilayah tersebut. Sulit dibayangkan,
jika serangan udara Israel dalam waktu satu minggu telah menelan demikian
banyak korban, keadaannya tentu akan semakin parah setelah Israel melancarkan
serangan daratnya, dan kondisi ini terbukti dengan jatuhnya korban jiwa
melibihi angka seribu dan ribuan korban luka lainnya.
Fakta
yang cukup sulit untuk dibantah, bahwa konflik Israel-Palestina berhasil
membangun stigma di tengah masyarakat Islam sebagai konflik bernuansa agama. Pandangan
ini setidaknya dibangun berdasarkan asumsi bahwa Palestina diyakini sebagai
salah satu simbol spiritualitas Islam, dan korban yang berjatuhan di tanah
Palestina secara umum adalah masyarakat Islam. Istilah "jihad"
sendiri merupakan terminologi dalam ajaran Islam yang mengandung pengertian
perang yang dilakukan di jalan Allah, sehingga jika jihad dapat ditolerir dalam
kasus ini, maka semakin sulit membangun fondasi keyakinan di tengah masyarakat
Islam tentang adanya "fakta lain" di balik situasi konflik yang sejak
lama terjadi antara Israel dan Palestina. Fakta lain yang penulis maksud adalah
dimensi politik yang juga demikian kental dalam konflik Israel-Palestina. Fakta
ini setidaknya ditunjukkan dengan keberpihakan Amerika Serikat sebagai negara adidaya
pada Israel.3 Keberpihakan tersebut semakin terlihat jelas ketika tidak kurang
dari puluhan resolusi yang dikeluarkan PBB untuk konflik Israel-Palestina kerap
"dimentahkan" Amerika dengan vetonya. Ada hal lain yang lebih
menarik, sunyinya sauara negara-negara Arab (khususnya Saudi Arabia yang dalam
banyak hal dianggap sebagai "kampung halaman Islam", dan berteman
dekat dengan Amerika) semakin memperlihatkan nuansa politik yang cukup kontras
dalam kasus ini.
Konflik
Israel-Palestina dengan sendirinya dapat diposisikan sebagai konfliksosial
mengingat kasus ini dapat disoroti dari beberapa aspek: politik dan teologi.
Konflik sosial sendiri – sebagaimana dikatakan Oberschall mengutip Coser–
diartikan sebagai "...a strugle over values or claims to status, power,
and scare resource, in wich the aims of the conflict groups are not only
to gain the desired values, but also to neutralise injure or eliminate
rivals. Pengertian ini menunjukkan bahwa
konflik sosial meliputi spektrum yang lebar dengan melibatkan berbagi konflik
yang membingkainya, seperti: konflik antar kelas (social class conflict),
konflik ras (ethnics and racial conflicts), konflik antar pemeluk agama
(religions conflict), konflik antar komunitas (communal conflict),
dan lain sebagainya.[2]
Dalam
kasus Israel-Palsestina, aspek politik bukanlah satu-satunya dimensi yang dapat
digunakan untuk menyoroti konflik kedua negara tersebut, demikian halnya dengan
dimensi teologis yang oleh banyak pihak dianggap tidak ada hubungannya dengan
konflik ini. Sebagian pihak memandang konflik Israel-Palsetina murni sebagai
konflik politik, sementara sebagian yang lain memandang konflik ini sarat
dengan nuansa teologis. Nuansa teologis dalam konflik Israel-Palestina bukan saja
ditunjukkan dengan terbangunnya stigma perang Yahudi-Islam, akan tetapi kekayikan
terhadap "tanah yang dijanjikan" sebagai tradisi teologis Yahudi juga
tidak dapat dipisahkan dalam kasus ini. Oleh karenanya, tidak ada dari kedua
aspek di atas (politik dan teologi) yang dapat dianggap lebih tepat sebagai
pemicu konflik Israel-Palestina, karena sepanjang sejarahnya kedua aspek
tersebut turut mewarnai konflik. Membentangkan sejarah kelam hubungan
Israel-Palestina yang kerap dikerumuni konflik berkepanjangan sama rumitnya
dengan melacak sejarah Yahudi itu sendiri, namun upaya ini penting dilakukan
untuk melihat sejauh mana konflik tersebut diwarnai oleh nuansa politik maupun
teologis. Bahkan, seperti yang dituliskan Ralph Schoenman ( Ralph Scoenman
adalah satu dari sekian orang yang mengalami langsung situasi konflik
Israel-Palestina. Ia mengalami pengepungan dan pengeboman di Beirut Barat
(1982), hidup bersama orang-orang Palestina dalam reruntuhan Ain el Helwh
selama pendudukan Israel, serta menyaksikan pembinasaan di kamp-kamp Palestina). [3]
Apa
yang ditegaskan Schoenman tentang sulitnya mendapatkan informasi tentang
Yahudi, agaknya benar-benar di alami oleh seorang wartawan Kompas, Trias
Kuncahyono, dalam perjalanan jurnalistiknya ke Jerusalem. Dalam bukunya
berjudul: Jerusalem: Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir, Trias
bahkan menunjukkan kesulitan yang ditemukannya di berbagai tempat yang
menggambarkan kecurigaan, kewaspadaan, dan bahkan menjurus pada kegamangan, dan
fobia yang begitu tinggi dari orang-orang Israel. Kondisi semacam ini bukan kejadian
langka yang dapat ditemukan ketika setiap orang ingin mengunjungi tanah
Palestina sebagai wilayah yang dihuni dua bangsa keturunan Ibrahim yang tak
pernah akur. [4]
1.2
Pokok Masalah penulisan
Apa penyebab
kegagalan presiden Amerika Serikat Donal Trump dalam me-maintain konflik
Israel-Palestina?
1.3
Tujuan dan Urugensi penulisan
Adapun beberapa
tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1.
Ingin mengetahui apa yang menyebabkan
presiden Donal Trump gagal dalam mempertahankan konflik Israel
2.
Ingin mengetahui akibat dari keputusan
Donald Trump yang secara sepihak mengakui yerusalem sebagai ibu kota Israel.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 KERANGKA TEORI
Pada kesempatan ini, penulis menggunakan teori yang dimana adanya
kesenambungan dengan judul makalah
diatas yaitu kegagalan Donald trump dalam
memaintance konflik israel dan palestina
, penulis memilih untuk menggunakan
teori Realisme, karena menurut penulis
teori ini sesuai dengan kebijakan trump yang sangat kontraversial dan juga
penulis menggunakan THREE MODELS DECISION
MAKING OF GRAHAM T . ALLISON. Namun disini penulis hanya mengambil salah
satu model pembuatan keputusan dari Allison yang dianggap sesuai dengan
kebijakan yang dibuat oleh Donal Trump.
2.1.1
Teori Realisme
Realisme pada dasarnya merupakan bentuk kritik terhadap
perspektif idealisme, yang mereka anggap terlalu menyepelekan konsep power dalam hubungan internasional. Teori
Realisme berkembang dan mendasar pada pemikiran bahwa man is evil.
Aktor dalam perspektif realisme adalah negara, sebagai satu individual yang
tidak akan bekerjasama dengan aktor lain tanpa ada maksud tertentu (self-interests)
dan akan selalu berusaha untuk memperkuat dirinya sendiri. Berawal dari sejarah studi Hubungan Internasional yang
muncul antara Perang Dunia
I dan Perang Dunia
II, realisme hadir sebagai
arus utama pendekatan hubungan internasional akibat ketidaksempurnaan
pendekatan idealis dalam menjelaskan keadaan dan fenomena yang sedang terjadi
kala itu.[5]
Realisme sebagai spektrum
ide juga melingkupi 4 dalil inti antara lain Political Groupism,Egoism, International
Anarchy,
dan juga Power Politics. kaum realis menganggap bahwa umat manusia pada dasarnya
tidak murah hati melainkan bersifat egois dan kompetitif. Thomas Hobbes, salah
satu ahli teori realisme, memandang manusia pada dasarnya bersifat egosentrik
dan konfliktual kecuali bila terdapat kondisi di mana manusia dapat hidup
berdampingan. Dalam hal kepentingan pribadi, manusia cenderung mengandalkan
diri sendiri dan termotivasi untuk mencari kekuatan yang lebih besar. [6]
Kaum realis berpendapat bahwa fokus penelitian politik
dunia seharusnya terletak pada proses
menemukan berbagai pendorong penting yang menggerakan hubungan-hubungan antar
negara-negara. Mereka percaya bahwa pengejaran terhadap kekuasaan dan
kepentingan nasional adalah kekuatan utama yang menggerakan perpolitikan dunia.
Namun mereka menerima bahwa hukum dan moralitas merupakan bagian dari kinerja
politik dunia tetapi pengharagaan pada hukum hanya akan dapat dicapaijika hukum
tersebut disertai dengan ancaman kekuatan. [7]
Asumsi Dasar Teori Realisme dalam Hubungan
Internasional
Teori realisme merupakan
reaksi terhadap pemikiran utopianisme yang banyak didominasi oleh studi politik
di Amerika Serikat dalam rentang tahun 1940-an hingga 1960-an. Teori Realisme
berkembang pada 4 asumsi dasar[8], yakni:
1. States are the principal or most
important actors.
Negara merupakan aktor utama dalam hubungan internasional, yang
juga menjadi unit analisis dalam studi hubungan internasional. Studi hubungan
internasional merupakan studi terhadap unit-unit (negara-negara) tersebut.
Realisme hanya menekankan negara sebagai aktor utama, walaupun dalam
perkembangan hubungan internasional, aktor non-negara juga memiliki peran
penting dalam percaturan politik dunia. Perusahaan multinasional, kelompok teroris, NGO, dan
aktor non-negara lainnya terkadang diakui perannya oleh kaum realis, tetapi
tidak begitu ‘mengambil’ peran dalam hubungan internasional. Negara-lah yang
menjadi aktor utama dan dominan.
2. The state is viewed as a unitary
actor.
Negara dipandang sebagai unitary actor yang setidaknya bisa
membuat suatu kebijakan terhadap suatu isu tertentu. Negara terintegrasi dengan
dunia luar, yang menjadi ketunggalan dalam kedaulatannya terhadap percaturan
politik internasional.
3. The state is essentially a
rational actor.
Negara dianggap sebagai aktor rasional, meskipun kaum realis
sebenarnya takut pada kesalahpahaman orang-orang dalam memandang negara sebagai
aktor rasional.
4. National Security usually tops the
list.
Bidang
militer dan isu keamanan lain yang terkait mendominasi politik dunia. Kaum
realis menganggap bahwa keamanan menjadi bagian paling penting dalam interaksi
antar-negara. Terlebih karena sistem internasional pada dasarnya anarki dan
manusia pada dasarnya egois dan haus akan kekuasaan. Kaum realis fokus pada
potensi konflik yang terjadi antar-negara, sehingga pentingnya keamanan menjadi
daftar paling atas dari setiap kepentingan aktor, yang dalam hal ini adalah
negara berdaulat.
2.1.2
Model 1 : Aktor Rasional
Dalam model ini politik luar negeri
dipandang sebagai akibat dari tindakan-tindakan actor rasional, terutama .
Pembuatan keputusan politik luar negeri digambarkan sebagai suatu proses
intelektual. Pemerintah dianalogikan sebagai dengan perilaku individu
ang bernalar dan terkoordinasi. Analisis model pembuatan keputusan ini adalah
pilihan-pilihan yang di ambil oleh pemerintah. Dengan demikian, analis
politik luar negeri harus memusatkan perhatian pada penelaah kepentingan
nasional dan tujuan dari suatu bangsa, alternative-alternative haluan
kebijaksanaan yang bisa diambil oleh pemerintahnya, dan perhitungan untung rugi
atas masing-masing alternative itu.
Dalam model ini para pembuat keputusan
itu dianggap rasional dan kita umumnya memang cenderung berpikir bahwa
keputusan secara rasional, kelemahannya asumsi ini mengabaikan
fakta bahwa para pembuat keputusan itu adalah manusia yang bisa membuat
kesalahan dan yang selalu menghadapi berbagai kendala eksternal dari
birokratnya sendiri, dari berbagai kelompok kepentingan , opini public dan
sebagainya. Terutama dalam system demokrasi. Allison sadar akan kelemahan itu
sehingga beliau mengajukan model lainnya, yaitu model “proses organisasi” dan
“politik birokratik”.[9]
Untuk memperbaiki model pertama ini maka
Allison membuat model ketiga yang berfokus pada politik birokratik yang diamana
lebih menggambarkan bagaimana orang dapat mengambil kebijakan luar negeri atau
politik luar negeri sesuai dengan peraturan yang ada. PLN adalah hasil dari
proses interaksi, penyesuaian diri dan perpolitikan di antara berbagai actor
dan organisasi, bargaining game antar bangsa, dengan kata
lain pembuatan keputusan PLN adalah proses social, bukan intelektual. Jadi
dalam Mode ketiga digambarkan suatu
proses dimana masin-masing pemain berusaha bertindak secara rasional harus
memperoleh informasi tentang persepsi, motivasi, posisi, kekuasaan dan maneuver
dari pemain-pemain yang terlibat didalamnya, setiap actor Negara berusaha
menetapkan tujuannya, menilai berbagai alternlehative sarana dan menetapkan
pilihan secara intelektual, tidak ada pemain yang bisa memperoleh apa
yang diinginkan dalam bergaining ini.( bisa di analogikan permainan catur ).[10]
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 BIODATA DONALD TRUMP
Donal Trump lahir di New
York City, 14
Juni 1946; umur 71 tahun) adalah pebisnis, tokoh televisi realita, politikus, dan Presiden Amerika Serikat ke-45. Sejak 1971, ia memimpin The Trump Organization, perusahaan
induk utama untuk semua usaha properti dan
kepentingan bisnis lain miliknya. Sepanjang karier
bisnisnya, Trump telah membangun
gedung perkantoran, hotel, kasino, lapangan golf, dan fasilitas
bermerek lainnya di seluruh dunia. Ia terpilih sebagai presiden Amerika
Serikat ke-45 pada pilpres 2016 dari Partai Republik; ia mengalahkan calon dari Partai Demokrat, Hillary
Clinton. Ia dilantik pada tanggal 20 Januari 2017. Trump
lahir dan besar di New York City. Ia meraih gelar sarjana dari jurusan ekonomi Wharton School di Universitas Pennsylvaniapada tahun 1968. Tahun 1971, ia
mengambil alih kendali perusahaan properti dan konstruksi milik ayahnya, Fred
Trump. Trump tampil di
berbagai ajang Miss
USA yang penyelenggaraannya dikuasai Trump
sejak tahun 1996 sampai 2015. Ia juga tampil secaramendadak di sejumlah film dan seri televisi. Ia sempat mencalonkan
diri sebagai presiden dari Partai
Reformasi pada tahun 2000, namun mengundurkan diri
sebelum pemungutan suara dimulai. Ia merupakan pembawa acara dan produser The
Apprentice, seri televisi
realita di NBC, pada tahun 2004 sampai 2015. Hingga
2017, ia terdaftar di Forbes sebagai orang terkaya ke-324 di dunia
dan ke-113 di Amerika Serikat dengan kekayaan bersih $3,1 miliar.[11]
Pada Juni 2015,
Trump mengumumkan pencalonan
dirinya sebagai presiden dari
Partai Republik dan langsung menjadi calon unggulan. Bulan Mei 2016, para
pesaingnya di Partai Republik menghentikan kampanyenya masing-masing. Bulan
Juli 2016, ia secara resmi dicalonkan sebagai presiden pada Konvensi
Nasional Republik 2016. Kampanye Trump mendapat liputan media dan perhatian
luas di dalam maupun luar negeri. Banyak pernyataan Trump dalam berbagai
wawancara, Twitter, maupun
kegiatan kampanyenya yang memicu kontroversi atau terbukti keliru. Sejumlah
kegiatan kampanye Trump sepanjang pemilihan pendahuluan dibarengi oleh unjuk rasa.
Setelah Trump memenangi pemilu, ia memulai proses transisi
pemerintahan. Pada usia 70 tahun, ia merupakan orang
tertua yang menjabat sebagai presiden Amerika
Serikat.
Kebijakan Trump
meliputi renegosiasi perjanjian
dagang A.S.–Cina, penolakan terhadap beberapa perjanjian dagang seperti NAFTAdan Kemitraan Trans-Pasifik, penegakan hukum
imigrasi yang lebih ketat
serta membangun tembok di sepanjang perbatasan
A.S.–Meksiko, reformasi perawatan veteran,
pembatalan dan penggantian Undang-Undang Layanan
Kesehatan Terjangkau (Affordable
Care Act), dan pemotongan pajak. Setelah serangan Paris November 2015, Trump
mengusulkan penghentian sementara imigrasi Muslim ke Amerika Serikat; ia
kemudian mengubah rencana kebijakannya menjadi "pemeriksaan latar sangat ketat" dari negara-negara
tertentu. [12]
3.1.1 Konflik Palestina – Israel
Merujuk
perselisihan antara Palestina-Israel begitu panjang, berawal dari kekalahan
kekaisaran Ottoman Kerajaan Turki pada pemerintahan Inggris dan
sekutusekutunya;
khususnya
Amerika Serikat dan Perancis. Namun pada tahun 1916, Rusia–Czar, Inggris dan
Perancis
menandatangani
suatu perjanjian yang dikenal sebagai “Sax – Picot”. Perjanjian tersebut
membagi atas wilayah bekas kerajaan Turki[13]
sebagai berikut:
1.
Perancis menguasai negeri Syuria dari wilayah Turki sampai garis yang memanjang
dari Aka hingga Theberia yang sekarang
meliputi: Syria, Libanon dan Galil.
2.
Rusia – Czar menguasai wilayah Istambul.
3.Inggris
menguasai wilayah Irak, Jordania dan Arab dan daerah Palestina
Inggris pada waktu itu, merupakan kekuatan terbesar dari
Negara-Negara di wilayah Timur Tengah, sehingga warga Inggris, Laurence dengan
berbagai cara melakukan operasi di daerah Hejaz untuk dapat menguasai di daerah
– daerah Timur Tengah. Dengan melakukan manuver hubungan diplomatik kepada Raja
Husein untuk melakukan gerakan operasi anti Turki, begitu juga ke Ibn Saud dari
daerah Nejd untuk mengadakan operasi semenanjung Arab. Dari pengaruh diplomatik
Laurence kepada Raja Husein, akhirnya beberapa perwira Inggris berhasil
menduduki kota–kota Mekkah, Madinah dan Jeddah. Sebagai imbalan dari penguasaan
wilayah tersebut, raja Husein diberi kekuasaan menguasai daerah Irak dan lembah
Jordan, sedang daerah Hejaz diserahkan kepada Dinasti Saud. Untuk wilayah
Palestina sendiri tetap menjadi wilayah mandat inggris.[14]
Pada tanggal 2 November 1917 Menteri Luar Negeri Inggris, James
Balfour dalam surat menyuratnya kepada Presiden Federal Zionis Inggris, Lord
Walter Rothschild, mengemukakan gagasan agar wilayah Palestina yang pada waktu
itu merupakan wilayah mandat Inggris dijadikan pemukiman untuk masyarakat
Yahudi. Gagasan mengenai pemukiman masyarakat Yahudi dari Kenya ke Palestina
tersebut, sebagai tuntutan mayoritas kelompok kaum Zionis Internasional yang
berpegang pada kitab injil kuno dan agama Yahudi, yang dikenal dengan
perjanjian Deklarasi Balfour. Tujuan Deklarasi Balfour di atas, agar wilayah
Palestina dijadikan “A National Home For The Jewish People“.
Sebagai kebijakan dari James Arthur sebagai pemberi mandat Inggris pada waktu
itu – meskipun beliau memahaminya dengan meminta warga Yahudi Kenya untuk
mengungsi ke wilayah Palestina –Timur Tengah, dapat mengakibatkan terjadinya
konflik yang begitu besar, antara orang–orang Yahudi sebagai pendatang dengan
orang–orang Arab Palestina sebagai penghuni asli dari wilayah tersebut.
Namun itu semua dapat terjadi akibat peran Amerika Serikat dalam
permainan percaturan politik di Palestina- Israel. Pada tanggal 11 Mei 1942
Organisasi Zionis Amerika Serikat mengadakan pertemuan di New York dan
memutuskan suatu program dengan nama “Baltimore Programe” dengan
tujuan lebih jauh dibandingkan dengan Balfour Declaration, sehingga
sempat menimbulkan protes kalangan masyarakat Yahudi moderat di Eropa dan
Amerika Serikat. Isi dari rencana Biltmore Programe, yang diusulkan oleh
Ben Gurion selaku Ketua Komite Eksekutif Agensi Yahudi, yaitu: (1). Pembentukan
negara Yahudi di seluruh wilayah Palestina, (2). Pembentukan Angkatan Darat
Yahudi, (3). Pembentukan lembar putih 1939 dan pelaksanaan imigrasi Yahudi
tanpa batas yang akan diawasi Agensi Yahudi, bukan pemerintah Inggris.[15]
Melaksanakan keputusan deklarasi Balfour tersebut. Dengan
pertimbangan strategis sebagai berikut: (1). Masyarakat Zionis Yahudi di Eropa
Timur dapat hidup dengan aman dan bahagia. (2). Terusan Suez berada dalam
penguasaan negara Inggris. (3). Agar berguna sebagai pressure group masyarakat
Yahudi di Amerika Serikat – dalam memperkuat dunia politik Amerika untuk
kelanjutan peperangan. Hasil keputusan Deklarasi Balfour tersebut, menyebabkan
wilayah Palestina yang awalnya dimiliki warga penduduk asli Palestina, sekarang
sudah bergeser ke tangan masyarakat Zionis Yahudi yang telah menguasai wilayah
Palestina sebesar 2/3 dari jumlah keseluruhan wilayah Palestina, sehingga
menimbulkan konflik yang tak bersudahan di antara warga sipil Palestina dengan
militer Israel. Konflik terjadi di wilayah Palestina sejak mulai dari tahun
1948, 1956, 1967 dan 1973 hingga sekarang, walaupun dari sebagian besar kepala
negara negara Timur Tengah sangat ingin mendamaikan perselisihan tersebut,
terlihat “ketika berbagai pihak yang terlibat dalam pertikaian, setuju
mengadakan konferensi Madrid, 30-31 Oktober 1991”.[16]
Namun dari pihak pemerintah Amerika Serikat dan Inggris tak
henti–henti memberikan bantuan dukungan persenjataan teknologi kepada Israel
dalam melakukan operasi penyerangan militer dan proses pembangunan pemukiman ke
wilayah Palestina. Amerika Serikat tidak tanggung-tanggung memberikan
dukungannya kepada pemerintahan Israel dengan melakukan kerjasama militer dalam
hal pelatihan uji coba persenjataan teknologi canggih “Iron Dome” buatan
dari Amerika, yang digunakan pemerintahan militer Israel, Benjamin Netanyahu di
dalam melakukan penyerangan ke wilayah Palestina. Hal penting dukungan presiden
Amerika Barack Obama dalam kebijakan politik luar negeri-nya terhadap
pemerintahan militer Israel adalah guna memperlancar bisnis persenjataan di
kedua belah pihak dalam hal pemenuhan kepentingan nasionalnya. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Holsti, bahwa pada dasarnya hubungan mempunyai sifat konflik
bahkan dalam bentuk kerjasama antar pemerintah, sering terjadi perbedaan pandangan.
Dukungan Amerika Serikat terhadap Israel memberikan keleluasaan bagi
pemerintahan Israel untuk melakukan agresi militernya ke wilayah Palestina
secara angkuh dengan maksud memberikan pesan diplomatik dari pemerintahan
Benjamin Netanyahu kepada negaranegara lain, bahwa kekuatan militer Israel
merupakan simbol kekuatan super power, setelah negara adidaya Amerika
Serikat. Dengan kearogansian kekuatan militernya Israel secara bebas melakukan
penyerangan rudal ke wilayah Palestina, tanpa memperdulikan hak asasi manusia
suatu negara. Menurut Morgenthau bahwa mengejar kekuasaan dapat membentuk dan
mempertahankan pengendalian negara terhadap negara lain dan Lembaga-Lembaga
Internasional, khususnya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan tidak
menghentikan tindakan tersebut, yang mungkin saja memberikan dampak besar
terhadap negara–negara lain, khususnya Israel dalam mewujudkan kekuasaan yang
dimilikinya di wilayah Timur Tengah. [17]
Menurut
Morgenthau (1990:118) dalam teori Politik Prestise,
“bahwa tujuan dari ini semua merupakan untuk menimbulkan kesan
kepada negara–negara lain dengan kekuasaan yang sesungguhnya dimiliki oleh
negara–negara itu sendiri, atau dengan kekuasaan yang dirasakan dimilikinya,
atau supaya yang dimiliki itu dipercaya oleh negara-negara lain”.
Oleh
karena itu, Pemerintah Amerika Serikat tetap ikut berperan aktif di dalam
setiap permasalahan–permasalahan konflik yang terjadi di wilayah Timur Tengah,
khususnya
di
Palestina. Hal itu karena, Amerika Serikat ingin tetap eksis dalam mewujudkan
dirinya sebagai negara super power serta memperkuat pengaruh
hegomoninya terhadap negara-negara lainnya, sekaligus membuktikan diri sebagai negara
adidaya yang terdepan di antara negara-negara lain, khusunya dalam penentuan
penyelesaian perdamaian dunia.
3.1.2 PERAN AMERIKA DALAM PERDAMAIAN DAN PENYELESAIAN KONFLIK ISRAEL-PALESTINA
Peran pemerintah Amerika Serikat di dalam menyelesaikan
permasalahan konflik yang terjadi di wilayah Timur Tengah, khususnya
Palestina–Israel sangatlah penting. Amerika Serikat termasuk bagian dari Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa–Bangsa, yang mempunyai tugas dan fungsi sebagai
lembaga perdamaian dunia, khususnya di Lembaga Dewan Keamanan PBB. Untuk itu,
dibutuhkan peran anggota–anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa–Bangsa
untuk mewujudkan perdamaian dunia. Meskipun diketahui bahwa betapa besarnya
upaya Lembaga PBB dalam hal menyelesaian perselisihan Palestina – Israel,
dengan mengeluarkan beberapa resolusi guna menciptakan perdamaian dunia.
Resolusi-resolusi itu seperti; resolusi No. 181 tahun 1947, No. 242 tahun 1967,
No. 338 tahun 1973 dan resolusi dewan keamanan No. 694 tahun 1991. Juga
diadakannya konferensi madrid tahun 1991 dan perundingan Oslo tahun 1993 yang
disebut perundingan Ghaza – Ariha. [18]
Namun apa yang diupayakan oleh Pimpinan Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Kimon di dalam menyelesaikan konflik
Palestina-Israel, tidak membuahkan hasil secara optimal. Malah semakin parah
dan tidak ada ujung pangkalnya untuk mengakhiri perselisihan yang terjadi di
negeri suci itu. Terutama, tindakan-tindakan penyerangan yang dilakukan oleh
Israel – 10 tahun yang lalu, pada masa pemerintahan Yaser Arafat melakukan
mediasi perundingan di antara Palestine Liberty Organization with al
Harakatul Muqawwamatul Islamiyah Group and Intifhada. Presiden
Arafat dicurigai sebagai pemersatu bangsa Palestina, sehingga bagi
pemerintahan Israel, hal ini akan
mempersulit langkah-langkahnya dalam melakukan pembangunan pemukiman bagi warga Yahudi di Jalur Gaza. Dalam proses
perundingan yang difasilitasi oleh Presiden Palestina Yaser Arafat, belum terjadi
kesepakatan di kedua bela pihak yang sedang berselisih antara Israel-Hamas dan
Intifhada, beliau terlebih dahulu kena musibah keracunan- berdasarkan
penyelidikan sementara berasal dari sikat gigi dan pakaian yang dikenakannya
mengandung radioaktif (Berita Antara,2012).
Posisi Amerika Serikat.
Di mata Amerika
Serikat, Israel adalah sebuah asset strategis yang secara dasar-dasar moral
harus didukung penuh karena Israel adalah penganut demokrasi sekuler dengan
gaya hidup Barat. Bahkan menduduki posisi-posisi penting dalam sistem
pemerintahan di Amerika Serikat seperti Dewan Keamanan Nasional (NSC),
Departemen Luar Negeri, Intelejen bahkan Kongres konsisten mendukungnya. Oleh karena
itu, tidak seorangpun kandidat presiden Amerika Serikat dalam politik Israel
sangat berpengaruh, dalam banyak hal kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah
sangat menggambarkan bagaimana komitmen Amerika Serikat dalam mempertahankan
hubungan dengan Israel dan menempatkannya sebagai mitra khusus. Dengan status
istimewa tersebut, Israel mendapat dukungan politik, ekonomi, dan militer yang
luar biasa dari Amerika Serikat, saat menghadapi bahaya.Dan sudah bisa di
pastikan dimana posisi Amerika Serikat dalam konflik Palestina-Israel adalah
Amerika Serikat lebih cenderung memihak pada sekutunya Israel. [19]
Berikut adalah
berbagai perundingan yang telah dilaksanakan antara Israel dan Palestina
melalui jasa mediasi Amerika Serikat :
1).
Perundingan Oslo I
Perundingan Oslo
I berlangsung selama kurang lebih delapan kali dengan 14 kali pertemuan diawali
sejak 20-22 januari tahun 1993.Dari perundingan ini dihasilkan suatu kerangka
kesepakatan berisi 17 pasal ditambah dengan 4 pasal tambahan, dan dikenal
dengan deklarasi prisip atau DOP (declaration of principles on interim self
govermant arrangement).
2).
Perundingan Oslo II
Dalam
perundingan Taba (Oslo II) pada tanggal 28 september 1995 guna memperluas
wilayah otonomi Palestina, Israel menunjukan komitmennya untuk mantaati hasil
kesepakatan Oslo I dengan kesediaannya untuk mundur dari tujuh kota di tepi
barat, yakni : Jenon. Tulkarem, Qalqiliyah, Nablus, Bethlehem, Ramallah, dan
Hebron. Enam kota yang disebut pertama telah diserahkan kepada pihak palestina
pada bulan november dan desember 1995, kecuali Hebron. Untuk wilayah terakhir
ini, pemerintah Israel hanya bersedia menyerahkan 80% wilayah pendudukan (area
H-1). Sedangkan di seperlima wilayah tersebut (area H-2), pasukan Israel akan
tetap bertahan dengan dalih untuk melindungi para pemukim Yahudi.
3). Perundingan Hebron
Pada masa Netanyahu tercapai
persetujuan Hebron pada 15 januari 1997 yang Israel bersedia menyelesaikan
penerikan pasukan selama 10 hari sejak penandatanganan persetujuan. Disamping
itu, juga tercapai kesepakatan yang mengharuskan Israel untuk melakukan tiga
tahap penarikan pasukannya dari wilayah-wilayah pedesaan tepi barat antara
bulan maret hingga agustus 1998.
4).
Perundingan Wye River I
Perundingan Wye River I merupakan
usaha presiden Clinton untuk menundukan kembali kedua belah pihak ke depan meja
perundingan sejak desember 1997. Berkat usaha intensif AS untuk mengatasi jalan
buntu, Israel dan Palestina berhasil memulai kembali proses perundingan yang
sempat terhenti selama berbulan-bulan. Dari pertemuan-pertemuan selama 9 hari
di Wye Plentation Maryland, AS.Kemudian tercapai kesepakatan yang menghasilkan
memorandum Wye River I tanggal 23 oktober 1998.Ketentuan- ketentuan dari
memorandum Wye River I sebenarnya merupakan kelanjutan dari ketentuan Oslo II
dan protokol Hebron yang belum tuntas di implementasikan oleh Israel.
5). Perundingan Wye River II
Hasil kesepakatan Wye River I
yang tidak diimplementasikan oleh pemerintah Netanyahu diupayakan untuk
direalisasikan oleh penggantinya Ehud Barak. Dalam pertemuan Palestina-Israel
yang berlangsung di Sharm El Sheikh, Mesir, berhasil ditandatangani sebuah
memorandum ( yang lebih dikenal sebagai memorandum Wye River II) pada tanggal 4
september 1999. Disamping memuat ketentuan seperti yang sudah disebutkan daalam
Wye River I, dalam kesepakatan yang terakhir ini juga dijumpai hal-hal baru
serta revisi dari sebagian ketentuan Wye River I, seperti penundaan deklarasi
negara Palestina merdeka sampai september 2000, pembatalan 3% cagar alam di
lembah Yordan, dan ketentuan tentang dimulainya perundingan status Final.
Kesepakatan ini akan berlaku efektif mulai 10 september 1999.
6). Perundingan Camp David II
Perundingan Palestina-Israel yang
berlangsung di Camp David, Maryland-AS, selama 15 hari sejak 11 juli hingga 25
juli 2000, sebenarnya lebih didorong oleh sikap tergesa-gesa dan rasa optimisme
yang berlebihan terutama dari P.M Ehud Barak dan Presiden Bill Clinton.
Munculnya optimisme yang besar dan dialamai oleh Ehud Barak serta Bill Clinton
tersebut didasari oleh telah tercapainya beberapa alternatif pemecahan tentang
isu-isu paling rumit dalam konflik Palestina-Israel, seperti status kota
Jerussalem Timur, masalah pengungsi Palestina, masalah pemukiman Yahudi,
pembagian jatah air, dan masalah perbatasan Palestina-Israel.
Alternatif-altenatif pemecahan masalah itu antara lain adalah draft kesepakatan
rahasia Stockholm dan dokumen AS yang akan digunakan sebagai formula pemecahan
jalan tengah.
7). Konferensi Annapolis 2007
Agenda konferensi Annapolis mencakup
enam masalah pokok yaitu Negara kedaulatan Palestina, status final kota
Jerussalem sebagai ibukota Palestina, perbatasan, pengungsi Palestina,
pemukiman Yahudi, keamanan, dan pembagian sumber air. Kesepakatan penting dalam
konferensi Annapolis kedua pihak sepakat untuk menciptakan mekanisme monitoring
implementasi peta jalan, yang isinya pendirian Negara Palestina merdeka yang
berdampingan dengan damai bersama Israel. Konferensi ini juga menyepakati
pengguliran proses negosiasi langsung antara Israel dan Palestina setiap dua
minggu sekali dengan Amerika Serikat bertindak sebagai penengah.
Banyak indikator untuk menilai
ketidakberhasilan konferensi Annapolis.Awal masa konferensi Annapolis memang
terjadi gencatan senjata antara pejuang Hamas dan tentara Israel, terutama di
Jalur Gaza selama beberapa bulan.Tetapi disaat presiden Palestina Mahmoud Abbas
dan perdana menteri Israel Ehud Olmert berunding, pembangunan pemukiman Yahudi
di Al-Quds Timur justru ditingkatkan oleh pemerintah Isreal. Kesepakatan akhir
dari konferensi Annapolis untuk menciptakan Negara Palestina yang berdaulat
berdampingan dengan Negara Isreal yang berdaulat secara damai, tetapi dengan
perkembangan situasi konflik Palestina-Israel yang masih rentan proses
perdamaian kedua Negara masih jauh dari proses perwujudan perdamaian. Apalagi
Israel tetap bertahan dengan kebijakan politiknya yang serba tolak terhadap
palestina. Secara tegas Israel menolak pembekuan pembangunan pemukiman yahudi,
menolak pembicaraan masa depan tentang Yerussalem yang telah diduduki sejak
perang 1967. Dengan demikian Israel secara langsung menghambat proses
pembentukan Negara Palestina yang berdaulat, Yerussalem sebagai ibukota
Palestina. Namun pada kenyataannnya Amerika Serikat tetap saja berkeinginan
untuk menjadi juru damai terhadap negosiasi dan resolusi konflik
Israel-Palestina tersebut. Pada era kepemimpinan Barack Obama upaya mediasi
Amerika Serikat terhadap penyelesaian konflik Palestina-Israel dijalankan
melalui mekanisme negosiasi langsung (Direct Negotiation Between Israel and
Palestinians) pada 2 September 2010.[20]
Mediasi atas prakarsa Amerika
Serikat ini dijalankan melalui forum tripartit yang terdiri dari tiga
perwakilan, yaitu:
1. Presiden Amerika Serikat Barack
Obama sebagai fasilitor negosiasi langsung.
2. Perdana Menteri Benyamin
Netanyahu sebagai wakil dari Israel.
3.
Mahmoud
Abbas sebagai wakil dari ketua otoritas Palestina.
Prakarsa
Barack Obama yang diharapkan dapat menjadi perundingan akhir ke arah perdamaian
ternyata mengalami kegagalan seperti halnya perundingan-perundingan sebelumnya.
Sebelum negosiasi langsung yang diadakan pada September 2010 diatas
terealisasi, Barack Obama juga telah melakukan pembicaraan empat mata baik
dengan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas dan pemimpin Israel Benyamin Netanyahu.[21]
Beberapa pertemuan yang berhasil
terealisasi antara lain :
a.
Pengiriman
utusan Amerika Serikat sebagai wakil Obama, George Mitchell ke Palestina untuk
bertemu dengan pemimpin otoritas Mahmoud Abbas pada 10 Mei 2009 di Ramallah.
Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk meredakan ketegangan antara Amerika
Serikat dan Pelestina akibat pembangunan pemukiman Yahudi.
b.
Pertemuan
Obama dan Netanyahu pada tanggal 25 Maret 2010 di Washington. Pertemuan ini
merupakan tindak lanjut dari kunjungan wakil presiden Amerika Serikat Joseph
Biden pada 9 Maret 2010.Dalam pertemuan tersebut Obama menyatakan bahwa
Netanyahu menolak berbagai masukan dari Obama untuk membatalkan pembangunan
Baitul Maqdis Timur.
c.
Pertemuan
antara Obama dan Netanyahu pada 10 September 2010 di Gedung Putih. Pertemuan
ini tidak digelar secara terbuka, wartawan dilarang masuk dan hanya berlangsung
kurang dari 40 menit. Setelah pertemuan tersebut Obama menyampaikan dalam
konferensi pers bersama bahwa Israel akan bermurah hati mengendalikan pembangunan
pemukiman di Tepi Barat. Selain mengadakan pertemuan secara bilateral dengan
pihak Israel, Barack Obama juga berhasil menggelar beberapa forum pertemuan
dengan pihak Palestina, meskipun secara tidak langsung.
Pembicaraan
melalui telefon antara Barack Obama dengan Mahmoud Abbas pada 10 Juli 2010.
Dalam pembicaraan tersebut akan diusahakan tentang prakarsa Amerika Serikat
dalam mewujudkan kehidupan masyarakat Palestina dan Israel untuk dapat hidup
berdampingan. Sejak Persetujuan Oslo, Pemerintah Israel dan Otoritas Nasional
Palestina secara resmi telah bertekad untuk akhirnya tiba pada solusi dua
negara.
Masalah-masalah utama yang tidak
terpecahkan di antara kedua pemerintah ini adalah:
1. Status dan masa depan Tepi Barat,
Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang mencakup wilayah-wilayah dari Negara
Palestina yang diusulkan.
2. Keamanan Israel.
3. Keamanan Palestina.
4. Hakikat masa depan negara
Palestina.
5. Nasib para pengungsi Palestina.
6. Kebijakan-kebijakan pemukiman
pemerintah Israel, dan nasib para penduduk pemukiman itu.
7.
Kedaulatan
terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem, termasuk Bukit Bait Suci dan kompleks
Tembok (Ratapan) Barat.
3.1.3 KEGAGALAN DONALD TRUMP DALAM MENCIPTAKAN PERDAMAIAN ISRAEL-PALESTINA
Jika mantan presiden Amerika
Serikat yang ke 44 Barack Obama, melakukan berbagai macam cara untuk mewujudkan
dan menciptakan perdamaian Israel-Palestina melalui berbagai macam cara dan
menjadikan Amerika Serikat sebagai mediasi atau jalan tengah perdamaian
tersebut maka lain halnya dengan Presiden Amerika Serikat ke 45 Donald Trump
yang dikenal dengan presiden yang sangat kontraversial dengan berbagai
kebijakannya. Baru-baru ini tepatnya
tanggal 6 Desember 2017 dunia dikejutkan dengan pidato Donal Trump di gedung
putih yang secara sepihak mengumumkan pada dunia bahwa Amerika Serikat telah
tiba saatnya untuk mengakui secara resmi Yerusalem sebagai ibu kota
Israel. Trump juga mengatakan bahwa Yerusalem adalah kursi bagi pemerintah
modern Israel, rumah bagi parlemen Israel, Knesset, rumah bagi Mahkamah Agung. Dia juga menambahkan Israel memiliki
hak untuk menentukan ibu kotanya dan penundaan penetapan Yerusalem sebagai ibu
kota Israel selama ini tidak membawa apapun dalam mencapai perdamaian. [22]
Hal ini tentu sangat akan munculnya
'konsekuensi berbahaya' jika AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Dan
akan mengundang konflik apabila tel aviv dipindahkan ke yerusalem. Para
presiden AS sebelumnya yang dimulai dari era Clinton sampai Obama, enggan untuk
mengeksekusi UU AS tahun 1995 tentang pemindahan Kedubes dari tel Aviv ke
Jerusalem. Soalnya mereka khawatir itu akan memicu protes dan kekerasan dari
warga di kawasan Timur Tengah serta wilayah lainnya, yang akhirnya bisa
membahayakan kepentingan nasional AS. hal ini akan mengancam proses perdamaian
israel-palestina. Langkah yang di ambil oleh Trump tidak akan menciptakan
perdamain kedua belah pihak tetapi akan
muncul fanatisme dan kekerasan. Sementara itu, presiden palestina
Mahmood Abbas menggalang dukungan dari dunia internasional untuk bekerjasama
mencegah presiden Donal Trump untuk membatalkan keputusan tersebut. Keputusan
yang membuat masyarakat palestina merasa
tidak adil dan tentunya melukai umat muslim seluruh dunia. [23]
Keputusan Donald Trump banyak dikecam oleh berbagai negara
tidak hanya negara-negara islam tetapi negara-negara eropa pun mengeluarkan
pernyataan yang mengecam keputusan tersebut. Keputusan itu dinilai telah
menghancurkan rencana perdamain kedua
negara, dan menggagalkan usaha Amerika yang dimana seharusnya sebagai mediasi/
perantara perdamaian kedua negara. Trump dianggap telah gagal dalam memelihara
perdamaian Israel-Palestina. Keputusan Trump mengakui seluruh wilayah Yerusalem
sebgai ibu kota israel memutarbalikan kebijakan AS bahwa status kota itu harus
diputuskan melaui negosiasi dan jalur diplomasi dengan pihak Palestina
3.1.4 TANGGAPAN
DUNIA INTERNASIONAL
Petisi Trump tersebut
tentu membangkitkan kemarahan besar negara-negara islam dan mendapat kecaman
keras.
Yordania dan Arab Saudi sebagai penjaga situs suci islam,
telah mengeluarkan peringatan bahwa langkah ini telah membuat marah umat islam
seluruh dunia. Indonesia sebagai
negara yang bermayoritas agama islam tentu sangat kecewa dengan keputusan sepihak
itu. Hingga pemerintah Indonesia mengijinkan aksi bela palestina 17 desember
2017 yang dimana aksitersebut merupakan bagaian dari luapan solidaritas kepada
rakyat palestina, indonesia menganggap tindakan trump melanggar berbagai
resolusi dewan keamanan dan majelis umum PBB dimana AS merupakan anggota
tetapnya. Indonesia mendesak PBB dan OKI untuk segera membahas dan menentukan
sikap.[24]
Paus Fransiskus sebagai bapa seluruh umat katholik mengeluarkan pernyataan
bahwa semua negara harus menghormati
status quo kota sesuai dengan resolusi PBB yang relevan. Uni Eropa meminta dimulainya kembali proses perdamaian yang berarti
menuju solusi dua negara dan harus ditemukan suatu cara melalui negosiasi untuk
menyelesaikan status yerusalem sebagai ibu kota masa depan dua negara. Perancis sangat menyesalkan keputusan
Trump dan mengkehendaki agar segara membatalkan pernyataan tersebut. Cina dan Rusia prihatin akan keputusan
tersebut dan akan mengakibatkan peningkatan ketegangan di wilayah tersebut. Inggris sangat tidak setuju karena hal itu tidak
membantu prospek perdamaian di wilayah itu. Jerman tidak setuju dengan keputusan tersebut karena status yerusalem hanya dapat dirundingkan dalam
kerangka solusi dua negara. Kelompok
Hammas menyebut Trump tanpa sadar
telah membuka gerbang neraka. Iran mengutuk
amerika dan menyebut hal ini kan menyulut gerakan intifada baru atau
pemberontakan melawan israel. Lebanon sangat
menyesali perbuatan Trump dan akan membantu palestina untuk mendirikan sebuah
negara yang merdeka dan yerusalem
sebagai ibu kotanya. Seluruh member PBB mendesak PBB untuk segera menggelar
sidang darurat untuk membahas keputusan Amerika Serikat. [25]
3.1.5
UPAYA PBB DALAM MENYELESAIKAN KONFLIS ISRAEI-PALESTINA
Majelis Umum PBB akan melakukan sidang darurat dan pemungutan
suara atas sebuah resolusi untuk menolak keputusan Presiden AS Donald Trump
tepat pada tanggal 21 desember 2017 . AS secara sepihak mendeklarasikan
Yerusalem sebagai ibukota Israel dan berencana memindahkan kedutaan besarnya
dari Tel Aviv. Sampai saat ini, berbagai resolusi PBB sebelumnya menyebutkan
bahwa status Yerusalem baru akan ditetapkan dalam sebuah perundingan perdamaian
Israel-Palestina. Sebelumnya di Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat mengalami
kekalahan telak setelah semua dari 15 anggota, kecuali Amerika Serikat,
menentang keputusan Donald Trump. AS lalu menggunakan hak vetonya. Berbeda dengan
sidang Dewan Keamanan, di Sidang Majelis Umum tidak ada negara yang memiliki
hak veto. Semua 193 negara anggota PBB punya hak suara yang sama. Menteri Luar
Negeri Palestina Riyad al-Malki mengatakan, sesi Majelis Umum akan menunjukkan
"berapa banyak negara yang memilih dengan hati nurani mereka."
Berbeda dengan resolusi Dewan Keamanan, resolusi Majelis Umum tidak bersifat
mengikat. Sekalipun begitu, resolusi Majelis Umum akan memiliki bobot politik
di panggung diplomasi. Rancangan resolusi itu
menyebutkan, keputusan mengenai status Yerusalem yang diambil Amerika Serikat
tidak memiliki dampak hukum dan harus dibatalkan. Tanpa menyebutkan nama Donald
Trump, resolusi itu menyatakan "penyesalan mendalam atas keputusan
baru-baru ini mengenai status Yerusalem. Kalangan diplomat memperkirakan akan
muncul dukungan kuat untuk resolusi tersebut, yang tidak bersifat mengikat.[26]
1. Resolusi tentang HAM Resolusi
A/55/133 isinya mengenai tindakan –tindakan Israel yang melakukan pelanggaran
terhadap rakyat Palestina (mengenai pencaplokan, pendirian perkampungan Yahudi
dan penutupan daerah). Dalam resolusi ini, Majelis Umum menitik beratkan pada
perlunya menjaga integritas territorial seluruh wilayah pendudukan Palestina,
termasuk menghilangkan pembatasan yang dilakukan oleh Israel.
2. Resolusi A/55/128 mengenai tanah
kepemilikian Palestina sesuai dengan Prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan.
3. Resolusi A/56/142 hak rakyat Palestina dalam
menentukan nasib sendiri.
4. Upaya pembentukan road map yang
disepakati oleh komite Kwartet, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa dan
Sekjen PBB.
5. Resolusi PBB No.181 tahun 1947
mengenai pembagian wilayah bagi bangsa Palestina dan Yahudi.
6.
Pembentukan
komisi I khusus untuk mengatasi menangani masalah pengungsi Palestina, yaitu UN
Conciliation Commission For Palestine (UNCCP) yang kemudian pada tahun 1950
juga membentuk sebuah badan Pengungsi Palestina dengan nama UN Relief and Works
Ageny (UNRWA).
7. Resolusi No. 194 yang berbunyi :
“Majelis umum menegaskan
bahwa harus di izinkan secepat mungkin bagi pengungsi yang ingin kembali
kerumah mereka dan hidup damai dengan tetangganya, dan demikian juga harus
mendapat ganti rugi dari harta benda yang ditinggalka, dan mendapat ganti rugi
dari kerugia atau kerusakan harta benda sesuai dengan hukum Internasional dan
standar keadilan bagi mereka yang tidak ingin kembali lagi.”
8.
Resolusi No. 338 penyeruan
mengenai gencatan senjata bagi pihak yang bertikai dan mengakhiri aksi
bersenjata kedua pihak
9. Resolusi No. 1276 yang meminta kedua pihak serius untuk
menghentikan gencatan senjata.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
sudah dikemukakan diatas dapat disimpulkan yang mana posisi Amerika Serikat
dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel adalah Amerika Serikat cenderung
memihak pada Israel.Dimana hampir sebagian besar penduduk Amerika Serikat
adalah keturunan Yahudi, dan mereka pun mempunyai organisasi-organisasi yang
terstruktur yang menduduki posisi-posisi tertentu di dalam pemerintahan.Dan
hampir sebagian besar perekonomian Amerika Serikat di kuasai oleh orang
Yahudi.Bahwa konflik Palestina-Israel merupakan perpanjangan dari konflik
Arab-Israel.Konflik antara Palestina-Israel adalah merupakan sengketa wilayah
yang mana telah dilakukan pembagian wilayah PBB tetapi pembagian tersebut tidak
memuaskan kedua belah pihak sehingga timbullah konflik diantara kedua belah
pihak. Konflik Palestina-Israel bukan konflik SARA, melainkan akan menjurus ke
konflik SARA.
Perserikatan
Bangsa-Bangsa sebagai sebuah organisasi yang menaungi hampir seluruh negara
telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi terealisasinya
perdamaian kedua bangsa ini.Begitu banyak resolusi-resolusi yang telah
dikeluarkan, tetapi kesemuanya tidak membuahkan hasil.Amerika Serikat yang
sekaligus sebagai mediator dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel tidak
menghasilkan apapun
Meski mendapat banyak Kecaman dari
berbagai negara, Donal Trump tetap tidak ingin membatalkan keputusan tersebut. Bahkan
dia mencatat negara-negara yang menantang tindakannya dan mengancam untuk tidak
memberikan bantuan kepada negara-negara tersebut apabila mereka membutuhkan.
REFERENSI
:
1.
https://ekomarhaendy.files.wordpress.com/2011/02/analisis-sosial-konflik-israel-palestina.pdf
diakses pada 6 januari 2018, jam 23.51
2.
A.
Oberschall. 1978. "Theories of Social Conflict". Annual Review of
Sociology. Vol. 4. Page:291-315 diakses pada 7 januari 2018 jam 0.03
3.
Ralph
Scoenman. 2007. "The Hidden Histroy of Zionism". Terjemah: Joko. S.
Kahhar. Sejarah Zionisme yang Tersembunyi. Sajadah Perss. diakses pada 7
januari 2018 jam 0.10
4.
Trias Kuncahyono. 2008. Jerusalem:
Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir. Jakarta: Kompas), diakses 7
januari 2018 , jam 0.16
5.
https://www.seniberpikir.com/teori-realisme-dalam-hubungan-internasional/
diakses pada 7 Januari 2018, jam 22.38
6. Goodin, Robert E. (2010). The Oxford Handbook of International
Relations. Oxford: Oxford
University Press. hal. 132, diakses pada 7 januari 2018 , jam 22.48
7.
Morgenthau,
Hans, 1948. Politics
Among Nations, (New
York: Knopf) Chapters 1 and 2, diaksespada 7 Januari 2018, jam 23.12
8.
Jack
Donnelly, “The Ethics of Realism”, in Christian Reus-Smit, Duncan Snidal
(eds.), The Oxford Handbook of International
Relations, Oxford
University Press, hal. 150, diakses 7 januari 2018 23.14
9.
James.
E Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff.jr “contending theories of international relations” hal
465-468, diakses 7 januari 2018 , jam 23.41
10.
http://fadhorrohman.blogspot.co.id/2011/04/tiga-model-pembuatan-keputusan-graham-t.html,
diakses pada 7 januari 2017.jam 23.54
12.
Kamisar, Ben
(October 9, 2016). "Trump:
Muslim ban 'morphed' into 'extreme vetting'". The Hill.
Diakses 8 januari 2018, jam 22.40
13.
M. Riza Sihbudi dan M. Hamdan Basyar. Konflik dan
Diplomasi Di Timur Tengah. Eresco. Bandung. 1993. Diakses 8 januari 2018, jam 23.40
14.
Rahmatullah. Peran PBB dalam
Penyelesaian Konflik Palestina – Israel Tahun 1991 – 2001. Jakarta. 2001,
diakses pada 8 januari 2018,jam 23.45
15.
Ibid , hal 49
16
M. Riza Sihbudi dan M. Hamdan Basyar. Konflik
dan Diplomasi Di Timur Tengah. Eresco. Bandung. 1993. Diakses 9 januari 2018, jam 0.02
17
Mohtar Mas’oed. Ilmu Hubungan Internasional:
Disiplin dan Metodologi. LP3ES. Jakarta. 1990. Diakses 9 januari 2018 , jam
0.12
18. library.gunadarma.ac.id/.../peran-amerika-serikat-dalam-menciptakan-perdamaian-Israel-paestina,
diakses 9 januari 2018, jam 0.38
19.
https://media.neliti.com/media/publications/991-ID-posisi-amerika-serikat-dalam-penyelesaian-konflik-palestina-israel-1.pdf,
diakses 9 januari 2018 jam 10.20
20. Zainudin Moh,
2011, Jejak-Jejak Nyata Amerika Mengobok-Obok Wajah Dunia,
Laksana, Jogjakarta. Diakses pada 9
januari 2018, jam 10.33
21.
http://pirhot-nababan.blogspot.com/2008/04/sejarah-konflik-palestina-israel.html
, diakses pada 9 januari 2018, jam 10.43
22. http://konfrontasi.com/content/global/setelah-donald-trump-umumkan-yerusalem-ibu-kota-israel,
diakses9njanuari 2018, jam 11.41
25. http://internasional.metrotvnews.com/amerika/yKXVj94b-donald-trump-akan-umumkan-yerusalem-sebagai-ibu-kota-israel, diakses 9
januari 2018,jam 23.19
26. http://www.dw.com/id/pbb-lakukan-voting-menolak-keputusan-donald-trump-soal-status-yerusalem/a-41888478, diakses pada 9
januari 2018, jam 23.45
27. https://www.slideshare.net/anggywds05/makalah-peranan-pbb-dalam-mengatasi-konflik-israel.
diakses 10 januari 2018. Jam 0.06
[1] https://ekomarhaendy.files.wordpress.com/2011/02/analisis-sosial-konflik-israel-palestina.pdf
diakses pada 6 januari 2018, jam 23.51
[2]
A. Oberschall.
1978. "Theories of Social Conflict". Annual Review of Sociology. Vol.
4.
Page:291-315
diakses pada 7 januari 2018 jam 0.03
[3]Ralph Scoenman.
2007. "The Hidden Histroy of Zionism". Terjemah: Joko. S. Kahhar. Sejarah
Zionisme yang Tersembunyi. Sajadah Perss. diakses pada 7 januari 2018 jam 0.10
[4] Trias Kuncahyono. 2008. Jerusalem:
Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir. Jakarta: Kompas), diakses 7
januari 2018 , jam 0.16
[5] https://www.seniberpikir.com/teori-realisme-dalam-hubungan-internasional/
diakses pada 7 Januari 2018, jam 22.38
[6] Goodin, Robert E. (2010). The Oxford Handbook of International
Relations. Oxford: Oxford
University Press. hal. 132, diakses pada 7 januari 2018 , jam 22.48
[7] Morgenthau, Hans, 1948. Politics Among Nations, (New York: Knopf) Chapters 1 and 2, diaksespada 7 Januari
2018, jam 23.12
[8] Jack Donnelly, “The Ethics of Realism”, in Christian
Reus-Smit, Duncan Snidal (eds.), The Oxford Handbook of International
Relations, Oxford
University Press, hal. 150, diakses 7 januari 2018 23.14
[9] James. E
Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff.jr “contending theories of international relations” hal
465-468, diakses 7 januari 2018 , jam 23.41
[10] http://fadhorrohman.blogspot.co.id/2011/04/tiga-model-pembuatan-keputusan-graham-t.html,
diakses pada 7 januari 2017.jam 23.54
[12] Kamisar, Ben (October 9, 2016). "Trump: Muslim ban
'morphed' into 'extreme vetting'". The Hill. Diakses 8 januari
2018, jam 22.40
[13]
M. Riza
Sihbudi dan M. Hamdan Basyar. Konflik dan Diplomasi Di Timur Tengah. Eresco.
Bandung. 1993. Diakses 8 januari 2018, jam 23.40
[14]
Rahmatullah.
Peran PBB dalam Penyelesaian Konflik Palestina – Israel Tahun 1991 – 2001.
Jakarta. 2001, diakses pada 8 januari 2018,jam 23.45
[15]
Ibid , hal
49
[16]
M. Riza
Sihbudi dan M. Hamdan Basyar. Konflik dan Diplomasi Di Timur Tengah. Eresco.
Bandung. 1993. Diakses 9 januari 2018,
jam 0.02
[17]
Mohtar
Mas’oed. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. LP3ES.
Jakarta. 1990. Diakses 9 januari 2018 , jam 0.12
[18] library.gunadarma.ac.id/.../peran-amerika-serikat-dalam-menciptakan-perdamaian-Israel-paestina,
diakses 9 januari 2018, jam 0.38
[19] https://media.neliti.com/media/publications/991-ID-posisi-amerika-serikat-dalam-penyelesaian-konflik-palestina-israel-1.pdf,
diakses 9 januari 2018 jam 10.20
[20] Zainudin Moh, 2011, Jejak-Jejak Nyata Amerika
Mengobok-Obok Wajah Dunia, Laksana, Jogjakarta. Diakses pada 9 januari 2018, jam 10.33
[21] http://pirhot-nababan.blogspot.com/2008/04/sejarah-konflik-palestina-israel.html
, diakses pada 9 januari 2018, jam 10.43
[22] http://konfrontasi.com/content/global/setelah-donald-trump-umumkan-yerusalem-ibu-kota-israel,
diakses9njanuari 2018, jam 11.41
[24] www.kompas/indonesia.com diakse pada
9 januari 2018,jam 22.53
[25] http://internasional.metrotvnews.com/amerika/yKXVj94b-donald-trump-akan-umumkan-yerusalem-sebagai-ibu-kota-israel,
diakses 9 januari 2018,jam 23.19
[26] http://www.dw.com/id/pbb-lakukan-voting-menolak-keputusan-donald-trump-soal-status-yerusalem/a-41888478,
diakses pada 9 januari 2018, jam 23.45